Aku
mendengus pelan. Kedua tanganku bertaut, menopang dagu. Mata hitam di balik
bingkai kacamata merahku mentap miris sebuah kata. Sebuah kata yang merasuk ke
lidah-lidah kelu. Kata yang menjadi benalu di tangan-tangan pasrah.
Aku
tidak menyangka, kata ini sanggup menembus berbagai pertahanan. Betapa
memesonanya kata ini sampai ia mampu membutakan para sarjana, membuat mereka
lupa akan aturan. Kata tangguh yang mampu menorehkan diri di lembaran putih
kebanggaan para intelektual.
MENGUBAH MERUBAH
Aku
menoleh, merasakan sepasang mata menatapku tajam. Salah satu alisku terangkat,
membalas tatapan mata cokelat itu.
“Ada
yang lucu?”
Aku
menatapnya bingung, tersenyum, kemudian berkata “Tidak ada”. Aku mengalihkan
perhatianku kembali ke depan, berpura-pura memperhatikan seorang wanita tua
yang terus berbicara sejak tadi.
“Jangan
bohong! Aku melihat dengan jelas kau mendengus sinis, ditambah seringai jelekmu
itu”, gadis pemilik mata cokelat tadi mengajakku bicara.
“Jelek?”,
aku mengangkat sebelah alisku, membiarkan mata hitamku berbinar canda. “Kurasa
kau tahu alasannya jika kau tidak sibuk bermain iPad sejak tadi”.
“Huh?”
“Ehem!
Nona Regi, ada yang ingin kau tanyakan?”, tanya wanita gemuk yang sedang
berdiri di depan kelas.
Gadis
berambut cokelat yang dimaksud tampak panik. “Ah, tidak ada, Bu”.
Wanita
tua tersebut mengangguk-angguk. “Kalau begitu, tolong jangan ribut dan simpan
mainanmu itu. Jika kau mau bermain dengan mainan canggihmu itu, silakan
tinggalkan kelas ini”.
“Ah,
baik”, Regi memasukkan iPad putihnya ke dalam tas. Mata cokelatnya menatap
tajam ke arahku.
Aku
terkekeh, “Aku tidak ikut campur”.
“Lalu,
apa yang membuatmu menampakkan seringai jelek itu?”, tanya Regi tanpa menoleh
ke arahku. Tubuhnya mengarah ke depan.
Aku
hanya diam. Seruan pelan Regi memaksaku melirik ke arahnya.
“Aaah!
Aku tahu. Kata yang kau benci, bukan?”, tanyanya sambil menyeringai.
Bukankah
tadi dia yang mengatakan seringai itu jelek. Aku mendengus.
“Yah,
mau bagaimana lagi, sudah menjadi kebiasaan orang-orang menulis dan mengatakannya
seperti itu”, ujarnya pelan.
“Bahkan
seorang intelektual sekalipun?”
Regi
mengangguk pelan.
Aku
menyandarkan punggungku di sandaran kursi di belakangku. Tangan kananku
mempermainkan pulpen pink kesayanganku.
“Merubah, merubah, dan merubah.
Memangnya siapa yang mau menjadi rubah? Siluman rubah?”
“Menjadi
rubah?”, Regi menatapku dengan binary canda di sepasang mata cokelatnya.
“Bukankah
itu arti kata merubah?”, tanyaku
sangsi.
“Bodoh!
Maksud mereka dengan merubah adalah membuat perubahan”, Regi mendengus.
Aku
memutar bola mataku. “Kata dasar ubah
jika mendapat umbuhan me- akan
menjadi mengubah, bukan merubah. Merubah berarti menjadi rubah.
Kau tahu apa itu rubah?”
Regi
menatapku tajam. “Kau kira aku anak umur lima tahun?”
Aku
mengangkat kedua bahuku.
“Katakan
saja pada mereka”, saran Regi.
“Sudah”,
sahutku santai.
“Tidah
ada yang berubah”.
Regi
menggeleng pelan. “Merubah akan tetap
menjadi benar jika tidak ada yang membuktikannya salah”.
“Lalu
kau pikir Kamus Besar Bahasa Indonesia itu apa?”
Regi
mendengus, “Ah, kau benar”.
Aku
menegakkan badanku, menopang daguku dengan kedua tanganku yang bertaut.
“Mungkin sebaiknya ubah saja kata dasar ubah
menjadi rubah, jadi mereka tidak akan
salah jika menyebutkan kata merubah”.
Regi
melemparkan notes kecilnya ke arahku.
“Nona
Regi, ada apa lagi?”, tanya wanita tua di depan kelas dengan wajah bosan.
“Ah,
maaf, tangan saya terkilir”, sahut Regi dengan wajah bersalah.
Wanita
tua itu mendengus.
“Kenapa
kau melemparku?”, tanyaku, kakiku menggeser notenya yang terjatuh ke lantai
pasca dilempar ke arahku.
“Kau
pikir kau siapa bisa mengubah isi Kamus Besar Bahasa Indonesia?”
“Bukan
aku, tapi para intelektual itu yang akan mengubahnya”.
“Tapi
kata rubah itu sudah ada artinya. Dasar bodoh!”, Regi tersenyum sinis.
“Lalu,
bagaimana dengan mereka yang menggunakan kata merubah? Apakah mereka bodoh?”
Catatan :
Pertama-tama,
silakan lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. ^_^
Ini hanya sebuah
cerita fiksi yang terinspirasi dari beberapa kejadian nyata. Aku tergerak untuk
menulis ini setelah membaca sebuah pengumuman lomba yang tidak bisa kuikuti,
namun aku sangat tertarik dengan temanya, yaitu tentang Bahasa Indonesia. Tentu
saja karena aku suka dengan Bahasa Indonesia. Cerpen ini hanyalah wujud
kecintaanku pada Bahasa Indonesia yang sering diabaikan dan ditentang aturan
bakunya. Saya menerima kritik dan saran kok, jadi silakan meninggalkan komentar
di bawah. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar