Aku mendesah kesal mendengar perintah fotografer tua itu. Sudah sejak dua jam yang lalu aku berpose sesuai arahannya. Mataku mulai sakit dihujani blitz-blitz yang keluar dari kamera yang dipegangnya. Tubuhku mulai kaku, terlalu lama diam dalam pose yang sama.
“Istirahat sebentar!”, perintah pria tua itu.
Aku segera menegakkan badanku. Berusaha melemaskan otot-ototku yang agak kaku.
Aku beranjak dari depan kamera menuju meja rias. Kemudian menghempaskan tubuhku di kursi empuk di depan sebuah cermin besar. Lampu-lampu berbentuk bulat seperti bola tenis mengelilingi pinggiran cermin besar itu. Memantulkan cahaya kekuningan ke wajahku.
=========================
Beautiful Plastic
=========================
“Minum ini!”, Mona menyodorkan sekaleng minuman bersoda padaku.
“Terima kasih!”, sahutku, mengambil kaleng minuman itu dari tangan manajerku tersebut.
Ekor mataku menangkap Mona yang membalikkan badannya. Ia berdiri di sampingku, membelakangi cermin rias besar di balik punggungnya. Tangan kirinya bertumpu di pinggiran meja rias.
“Ada apa denganmu, Airi?”, tanya Mona tanpa menoleh padaku. Matanya mentap lurus ke depan.
“Aku baik-baik saja!”, seruku kesal. Mata biruku menatap lurus ke cermin besar di depanku. “Seharusnya kau bertanya pada fotografer tua itu tentang apa yang salah.”
Aku membuka penutup minuman kaleng di tanganku. Meminum isinya perlahan dari sebuah sedotan putih. Menghalangi minuman soda itu menyentuh lipstik merah muda di bibirku. Rasa jeruk, kesukaanku.
Mona menghela napas. Tangan kanannya yang sedari tadi mengayun-ayunkan minuman kaleng berhenti sejenak. “Kau tahu, kalau kau tidak bisa melepaskan pekerjaan ini begitu saja?”
Aku memutar bola mataku. “Tentu saja.”
“Berusahalah sedikit lebih keras lagi!”, kata Mona.
“Berusaha katamu?”, tanyaku sangsi. “Kau lupa seberapa keras aku berusaha?”
Mona menghabiskan minuman kalengnya dalam sekali teguk. Ia mengacak rambut hitamnya, frustasi. “Ya, aku tahu.”
Aku menyeringai. Tapi, tidak. Wajahku tidak menampakkan seringai jelek. Wajahku tetap indah, tanpa cacat. Hanya keindahan yang ada di wajahku. Aku seperti boneka cantik yang terpajang di lemari-lemari kaca para bangsawan.
“Kau salah jika mengira aku tidak berusaha”, ucapku, menghisap lebih banyak minuman bersoda rasa jeruk dari kaleng minumanku yang mulai ringan.
Bisa kurasakan Mona menatapku dengan kedua mata hitamnya yang berkilau. “Dia fotografer professional.”
Aku mendengus mendengar pernyataan Mona. “Aku tahu. Justru karena itulah aku berusaha lebih keras. Aku sudah mempersiapkan diriku sejak lama, bahkan aku mempercepat jadwal operasiku.”
Aku meletakkan kaleng minumanku yang sudah kosong ke pojok meja rias di depanku. Menarik kambali tanganku. Membiarkan jemari putih panjangku menyusuri pipiku yang putih.
“Dan kau lihat sendiri kan bentuk usahaku?”, tanyaku sarkastis.
Kubiarkan jemariku menyusuri wajahku. Tak ada yang salah denganku. Kulitku putih tanpa goresan maupun kerutan. Mataku besar dengan iris biru tua yang berkilau. Hidungku mancung, sesuai bentuk wajahku. Bibirku tipis dengan warna merah muda. Rambut cokelat panjangku bergelombang dan jatuh dengan indah di bahuku. Dan tubuhku langsing proporsional. Aku adalah model yang sempurna.
“Airi”, panggil Mona pelan. “Kurasa kau sudah berlebihan.”
Aku menoleh ke arah Mona. Memberikan tatapan bingung padanya.
Mona menahan napas kemudian berkata, “Sebaiknya kau bercermin…”
Aku langsung menolehkan kepalaku. Kembali menatap pantulan diriku di depan cermin. Berusaha menampilkan ekspresi bingung. Tetap. Ekspresiku tidak berubah. Wajahku terlanjur dipahat dengan paksa. Untuk sempurna.
Aku terdiam.
“Ri… Airi…”, Mona menepuk pundakku.
Aku segera menoleh padanya.
“Waktunya pemotretan ulang”, katanya.
Aku menyemangati diriku sendiri. Aku siap kembali berpose di depan kamera.
Pose demi pose kulakukan, namun tak satu pun yang membuat fotografer tua itu puas. Seolah ada yang kurang.
“Airi…”, fotografer tua itu memanggilku. “Aku tahu kau adalah model yang profesional. Tunjukkan ekspresimu!”
Aku terdiam, namun tetap mengikuti intruksi fotografer tua itu untuk berpose sesuai keinginannya. Entah sudah seberapa alam waktu berlalu. Aku terperangkap dalam pikiranku sendiri. Berusaha tersenyum, tertawa, cemberut, marah, sedih sesuai intruksi. Namun, fotografer profesional itu tetap saja tidak puas.
“Baik, kita hentikan pemotretan ini!”, seru si fotografer tua.
Aku melorot pasrah. Membiarkan pandangan kosongku menatap lantai putih di bawahku.
“Airi, ayo berdiri!”, Mona menyodorkan tangannya padaku.
Kuraih tangan Mona untuk membantuku berdiri. Hingga mataku bertatapan dengan fotografer tua yang sedang menatapku balik dengan kedua mata cokelatnya yang lelah. “Anak muda, kau memang cantik, tapi… “, ia memberikan sedikit jeda di ucapannya. Ada tatapan kasihan yang terpancar dari kedua matanya. “Kau plastik.”
Martapura, Januari 2011
0 komentar:
Posting Komentar