Petir menyambar memecah keheningan malam. Suara hujan yang sempat terkalahkan oleh dengungan petir kini kembali mengusik keheningan malam.
Gadis berambut hitam itu mengeratkan selimut tipis yang membungkus tubuhnya, mencoba menghalangi dingin menyentuh kulit pucatnya. Suara-suara hantaman antara kayu dan semen mulai mengusik ketenangan si gadis, memaksanya memperlihatkan iris sekelam malam yang tersembunyi di balik kelopak matanya. Perlahan ia menyingkap selimut dari atas tubuhnya. Ia meringis merasakan dingin yang menusuk ketika kaki telanjangnya menyentuh permukaan lantai keramik.
Gelas Kaca Emily
Gadis itu mengerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan penglihatannya di dalam kegelapan. Ia bangkit dari tempat tidurnya meraih sebuah sweater berwarna krem lusuh di balik pintu kemudian memakainya. Dengan segera ia membuka pintu, berjalan mencari arah asal suara yang memaksanya untuk bangun.
Ia berjalan perlahan seraya menyilangkan tangan di depan dada, sesekali menggosok-gosokkan tangan ke lengan atasnya. Ia berhenti sejenak di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Sedikit menengok ke dalam, sebuah senyum terukir di bibir tipisnya. Ia meraih kenop pintu, memutarnya sepelan mungkin berusaha tidak menimbulkan suara.
Ia menemukan sumber suara yang mengganggunya. Ruang tamu. Sebuah ruangan kecil di mana isinya hanya terdapat beberapa kursi kayu tua, sebuah meja kayu tua yang mulai lapuk, dan vas bunga dengan bunga plastik berwarna pink kecoklatan karena dipenuhi debu. Dalam hati, ia menambahkan kegiatan mencuci bunga plastik pink itu ke dalam jadwalnya besok. Ia berjingkat-jingkat menghindari lantai basah akibat jendela yang terbuka dan membiarkan air hujan masuk ke ruangan kecil itu. Tangan kurusnya terulur mencoba menangkap daun jendela dari kayu yang dipermainkan angin. Kemudian mengaitkan kedua daun jendela tersebut dengan sebuah kawat besi yang cukup tajam.
Gadis itu mengangkat sebuah gelas kaca yang sudah terisi susu cokelat panas. Bukan, bukannya ia tak mau memakai mug yang lebih cocok dengan jenis minuman yang dibuatnya. Tapi, kebiasaan lama membuatnya memakai gelas itu. Gelas yang telah menemaninya sejak ia kecil.
Ia berjalan melintasi meja makan dengan kedua tangannya memegang erat gelas kaca yang tinggi itu. Ia duduk di salah satu tempat duduk di samping meja makan yang cukup untuk 10 orang. Pandangan matanya mengitari ruang makan sekaligus dapur itu setelah ia menyalakan lampu. Ia tahu bahwa ia tak akan bisa langsung tidur setelah terbangun cukup lama di tengah malam seperti kali ini sekaligus setelah merapikan kekacauan di ruang tamu.
Ia tersenyum melihat sederet sikat gigi warna-warni di samping pintu kamar mandi. Ia menyesap sedikit susu cokelatnya, masih terlalu panas untuk diteguk sekaligus. Ia bisa mengingat beberapa jam yang lalu betapa sulitnya menyuruh anak-anak itu menggosok gigi mereka sebelum tidur, terlebih si kecil Sarah. Ia harus menemani bahkan menggosokkan gigi untuk malaikat-malaikat kecil yang sekarang sedang bermimpi indah di dipan-dipan kecil mereka.
Ia melingkupkan seluruh permukaan tangannya di gelas kaca berisi susu cokelat yang baru sedikit berkurang, seolah menyerap panas dari susu tersebut. Jemarinya mengelus sebuah ukiran nama di gelas kaca setinggi 15 cm itu. Emily. Waktu kecil, ia begitu senang diberikan sebuah gelas dengan ukiran namanya, mengira bahwa ia istimewa. Ya, ia memang istimewa. Ia masih mengingat betapa sulitnya tangan kecilnya menggenggam gelas kaca itu sewaktu ia berumur 4 tahun. Ia memakai gelas yang sama untuk berbagai jenis minuman selama bertahun-tahun. Ia bahkan bisa mengingat ketika teman-temannya meminum susu dengan mug-mug kecil mereka, ia harus meminum susu dengan gelas kaca yang hanya terisi setengah, mengingat gelas kaca ini cukup tinggi dibandingkan mug-mug kecil itu. Hingga sudah menjadi kebiasaan baginya, bahkan sampai malam ini.
Emily, gadis berambut hitam itu, mengangkat gelas kaca berisi susu cokelat yang masih panas itu dengan sebelah tangannya, meneguk sedikit isinya, kemudian mempermainkan sisa susu cokelat itu dengan menggoyang-goyangkan sang gelas kaca. Matanya menatap kosong. Sebelah tangannya yang lain menopang kepalanya yang dimiringkan. Tanpa ia sadari, susu cokelat yang panas itu sedikit tumpah ke tangannya, membuatnya secara refleks melepas genggamannya.
Prang!
Gelas kaca itu pecah sekaligus menumpahkan sisa susu cokelat ke lantai, mengenai sedikit kaki dan ujung piyama yang dikenakan Emily. Gadis pucat itu terdiam sejenak, sebelum berjongkok untuk memungut serpihan pecahan gelas kaca yang baru saja ia pecahkan. Gelas yang selama bertahun-tahun menemaninya kini pecah dalam hitungan detik. Pecahan kaca itu menggores kulit pucatnya. Mengeluarkan darah segar perlahan dari jemarinya yang tergores. Ia meringis.
Emily berhenti memunguti pecahan kaca itu. Membawa jarinya yang terluka ke depan wajahnya. Seharusnya ia menjilat atau menghisap darah itu agar berhenti mengalir, namun ia hanya diam.
Darah. Darah itulah yang membuat semua barangnya memiliki inisisal. Ia seringkali bertanya pada diri sendiri, mengapa ibunya dulu melahirkannya, mengapa ayahnya mewariskan darah ini untuknya, mengapa Tuhan membiarkannya hidup kalau pada akhirnya ia ditakdirkan menderita.
Perlahan air mata mengalir di pipi pucatnya yang memerah. Ia menangis dalam diam. Bagaimana bisa Tuhan begitu menyayanginya selama 16 tahun ini, membiarkannya melalui hari-hari bagai pengasingan di tengah kerumunan.
“Ya Tuhan, Emily! Apa yang terjadi?”, seorang wanita paruh baya dengan tubuhnya yang gemuk dan pendek menghampiri Emily. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran pada gadis yang terkulai di hadapannya dengan jari yang terluka dan pecahan gelas kaca yang berserakan.
Wanita itu berhati-hati mendekati Emily, menghindari pecahan kaca. Ia yakin bunyi gelas kaca yang menghantam lantai inilah yang membangunkannya tadi.
“Emily, kau terluka! Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?”, wanita itu mengambil tisu di meja makan seraya membalutkan tisu ke jari Emily yang terluka, membiarkan tisu itu mengisap darah yang mengalir dari jemari pucat itu.
“Tenanglah, Nak.”, wanita gemuk itu mendekap Emily di dalam pelukannya yang hangat. Tangannya yang gempal mengusap-usap punggung gadis yang masih terisak di dalam pelukannya.
Emily tahu betapa orang-orang menghindari darahnya. Bahkan pengurus panti asuhan, wanita gemuk yang sedang mendekapnya, pun menghindarinya. Lebih memilih tisu putih itu yang bersentuhan dengan darahnya.
Emily tahu, bahkan sangat tahu, bahwa ia tak boleh menularkan penyakitnya. Penyakit yang diturunkan oleh orang tuanya yang telah meninggal akibat penyakit yang sama. Walaupun kadang menyangsikan hidupnya, Emily yakin orang tuanya menginginkan dan mencintainya. Kalaupun Tuhan membencinya, ia tak akan bisa hidup selama ini.
“Emily?”
Emily mendongak, menghadapkan wajahnya ke wajah wanita tua yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri selama 14 tahun terakhir. Wanita yang akan terus dianggapnya sebagai ibu.
Memangnya ada orang yang mau mengadopsi anak penyakitan seperti dirinya? Emily hanya tersenyum miris tiap kali memikirkan hal itu.
“Ada apa, Nak? Kau terlihat sangat pucat.”, ucap wanita tua itu lembut.
Emily menggeleng pelan. “Tidak.”, ia menjawab sambil tersenyum. “Tidak ada apa-apa. Jari saya terluka, itu saja.”, Emily masih tersenyum, mengingat alasan yang tidak cocok untuk membuat gadis berusia 16 tahun seperti dirinya menangis.
Wanita gemuk itu menghela napas lega. Ia tahu Emily berbohong, tapi ia memilih untuk membiarkannya begitu saja.
“Kalau begitu, masuk ke kamarmu dan segera tidur. Ini sudah larut malam.”, perintah wanita gemuk itu.”Biar Ibu saja yang merapikan semua ini, kau tidur saja.”, tambah wanita itu sebelum mendengar protes dari Emily.
Emily selalu menurut dan ia akan menuruti perintah pengasuh panti itu seperti biasa. Ia bangkit berdiri, mengulurkan tangannya yang tak terluka untuk membantu wanita gemuk itu berdiri. Kemudian ia berjalan keluar dari dapur menuju kamar kecilnya yang hangat.
Emily tahu bahwa semua orang akan mati, tapi ia tak tahu apakah ia akan mati karena AIDS seperti orang tuanya atau tidak.
Ia sadar bahwa ia adalah orang yang paling tidak tahu diri apabila ia tidak bersyukur karena Tuhan masih mengizinkannya hidup. Masih membiarkannya untuk berbuat sesuatu. Masih mengasihinya untuk berbagi walaupun ia berbeda.
Martapura, Agustus 2010
0 komentar:
Posting Komentar