Aku memutar bola mataku. ‘Lagi-lagi begini’, gumamku. Aku duduk malas di kursiku sambil menatap bosan ke depan kelas. Tangan kananku menopang kepalaku yang mulai terasa berat.
Di depan kelas di mana semua perhatian terkumpul, berdiri seorang wanita muda. Wajah wanita itu memerah karena marah. Entahlah, aku tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini para pengajar menggila. Ekor mataku melirik ke bagian belakang kelas, di mana tatap marah si wanita mengarah. Aku tersenyum miris. Sepertinya wanita yang suaranya mulai serak itu kembali memainkan sandiwara klasik.
Kalimat-kalimat ambigu yang terlontar dari mulut wanita muda itu memicu kantukku. Akhirnya, keningku bersentuhan dengan dinginnya meja putih di depanku. Aku memejamkan mata, merasakan emosi di tiap getar suara wanita itu. Aku mendongakkan kepalaku ketika semua kata telah berhenti dirangkai. Saat verbal tak mampu diucap, bahasa tubuh bicara segala yang tersisa. Butir-butir air mata bercerita.
Aku mendengus. Sungguh pertunjukkan yang membosankan. Sebuah skenario yang tak kumengerti jalan ceritanya. Ketika tersangka dan korban adalah orang yang sama. Kata ‘maaf’ menyeret paksa tanda tanya. Tirai merah seolah ditarik turun mengiringi derap langkah wanita itu. Tak ada tepuk tangan saat sosoknya menghilang.
0 komentar:
Posting Komentar