“Selamat datang!”, ucapku spontan begitu mendengar pintu yang dibuka, menandakan kedatangan seorang pelanggan. Aku berbalik, menghadap pelanggan yang kusodori dengan senyum.
Alis pemuda yang sedang berdiri di depanku terangkat, “Ime?”
“Ya?”, aku memiringkan kepalaku. “Ikuti aku. Kau mau makan siang kan, Roland?”, aku menegakkan tubuhku, berjalan menggiring pelanggan yang merupakan kenalanku itu ke salah satu meja kosong di dalam rumah makan ini. Bisa kulihat dari ekor mataku, Roland mengangguk pelan kemudian mengikutiku.
Gadis Karang
Aku berjalan menghampiri meja Roland dengan nampan yang berisi dua porsi makanan. Perlahan, aku menyusun pesanan pemuda berkulit putih itu ke atas meja.
“Silakan dinikmati!”, ucapku ramah.
Roland mendongak, mengalihkan perhatian dari tablet putih di tangannya ke arahku. “Duduklah.”
Aku mengerutkan keningku sambil memeluk nampan besar yang kubawa di dadaku. “Maaf, aku sedang bekerja”. Aku berbalik, hendak melanjutkan pekerjaannku.
“Apa bosmu tidak memberikan waktu istirahat?”, Roland bertanya. Matanya tertuju pada segelas es kopi pesanannya sementara jemari putihnya memainkan sedotan.
Aku mendengus.
“Lalu?”, aku menghempaskan tubuhku ke kursi di depan Roland. Nampan besar yang kubawa kuletakkan di sudut meja. “Kau ingin aku jadi teman mengobrolmu selama ini kau menunggu orang?”, tanyaku menyelidik.
Aku memutar bola mataku, tidak percaya. Kedua tanganku berada di belakang pinggangku, melepas simpul apron yang sedang kukenakan.
“Makanlah!”, perintahnya.
Aku mendengus. “Sepertinya kau benar-benar berniat untuk berbincang panjang lebar.”
Bibir tipis Roland menyeringai. “Kuharap kau suka dengan menu pilihanku.”
Aku menyesap jus stroberi yang dipesan Roland untukku. “Apa yang ingin kau bicarakan?”
Roland mengangkat salah satu alisnya, “Tidak ada basa-basi?”
“Aku tidak punya waktu seharian untuk mengoceh tidak jelas denganmu”, ucapku sebelum membuka lebar mulutku untuk memakan spaghetti di piringku.
Roland mendengus. “Mengapa kau bekerja di sini?”
“Karena aku ingin”.
“Mengapa kau ingin bekerja?”
“Perlu uang”.
“Tidak ada cara lain?”
Aku menghentikan acara makanku sejenak. “Maksudmu?”
Roland menautkan jemarinya, meletakkan dagunya di atas tumpuan tangannya. “Kau bisa mendapatkan uang tanpa perlu bekerja”.
Aku menyudahi makanku. Menyesap sisa jus stroberi di gelasku. “Kau ingin aku mengemis?”, tanyaku sangsi.
Mata hitam Roland menatap tajam padaku. “Entahlah.”
Aku mendengus sebal. “Aku tidak mau.”
“Banyak orang yang berbohong untuk mendapatkan uang.”
“Itu mereka, bukan aku.”
Roland tertawa kecil, “Kau keras kepala.”
“Kuanggap itu pujian”, aku tersenyum sinis.
“Kau pasti lelah.”
“Tidak kupungkiri itu”, aku mengangkat bahu. “Kau kasihan padaku?”
“Entahlah”, Roland menyandarkan tubuhnya ke kursi yang didudukinya, melipat kedua tangan di depan dadanya.
“Kau menyebalkan saat mengucapkan kata itu”, ucapku sambil memotong cake keju di hadapanku.
“Apa?”, Roland mengerutkan dahinya.
“Entahlah.”
Kami terdiam.
“Hentikan rasa kasihanmu itu”, ucapku memecah keheningan.
“Kenapa?”, Roland menautkan alis hitamnya. “Bukankah rasa kasihan menandakan seseorang masih punya hati?”.
“Rasa kasihanmu tidak akan membawaku ke mana-mana”, aku tersenyum miris. “Walaupun yang kau katakan itu benar, tapi bagiku rasa simpatimu justru akan membuatku terpuruk dan terkurung. Terpuruk karena aku merasa tidak berdaya sehingga layak untuk dikasihani oleh semua orang. Terkurung karena aku tidak punya kemampuan sehingga tak mampu bergerak sedikitpun. Aku akan menjadi seorang yang cacat mental.”
Roland tersenyum, “Sekuat apa kau mampu bertahan?”
“Sekuat karang yang dikikis ombak”, sahutku.
Roland mendengus, “Tidak terlalu kuat?”
Aku mengangguk.
“Sampai kapan?”
“Sampai aku mati. Layaknya karang yang lebur karena kalah dihantam ombak.”
“Lenyap begitu saja?”
Aku kembali mengangguk. “Setidaknya aku bukan botol yang terombang-ambing di lautan dan berharap menemukan pulau surga.”
Tercipta keheningan di antara kami.
“Imena!”, sebuah suara familiar mengisi gendang telingaku, membuatku menoleh ke asal suara.
“Aku tidak membayarmu untuk duduk bersantai sambil memakan hidangan tamu!”, seorang pria tua gemuk menegurku dengan suaranya yang keras. “Cepat kembali bekerja!”
Aku segera bangkit dari kursiku, mengikatkan apron berwarna hitam putih ke pinggangku. “Oh ya, Roland, aku tidak akan membayar makanan itu karena kau yang telah memesan semua itu, bukan aku”, tunjukku ke arah piring-piring kosong yang isinya telah berpindah ke perutku.
Roland terkekeh pelan. “Iya, kau tenang saja.”
“Terima kasih”, ucapku. Terima kasih juga atas semua pertanyaanmu, sambungku dalam hati.
Roland mengangguk, senyum manis terpasang di wajah putihnya.
Catatan : Sebuah cerpen yang ditulis untuk dia, mereka, kita yang ingin dan sedang menjalani apa yang kita anggap benar. Walaupun berat, Insya Allah, Allah akan memberi jalan. Amin!
0 komentar:
Posting Komentar