Gadis berambut cokelat tua itu menoleh saat sebuah tepukan pelan mendarat di bahu kanannya. Matanya cokelatnya menatap heran pada pemilih tangan, seorang pemuda berkulit putih. Pemuda itu tersenyum.
“Maaf, apa kau tahu kereta mana yang harus kunaiki?”, pemuda itu menyodorkan sebuah tiket kereta.
Gadis itu membaca tulisan di tiket si pemuda. Mata cokelatnya menatap mata hitam si pemuda, kemudian ia berbalik, tangan kanannya menunjuk ke arah sebuah kereta listrik.
“Ketera itu?”, tanya si pemuda meyakinkan.
Gadis berambut pendek itu mengangguk.
“Terima kasih!”, senyum merekah di bibir si pemuda. “Kalau begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa!, ia berlari kecil menuju pintu kereta yang perlahan menutup.
Mata gadis itu menatap punggung si pemuda yang perlahan hilang ditelan badan kereta. Ia mendengus pelan.
Tiket Pulang
Kepala pemuda bernama Taro itu mendongak, menyadari siluet yang mendudukkan dirinya di kursi di sampingnya.
“Ah, kau gadis yang tadi!”, seru Taro, membuat gadis berambut cokelat tua itu menoleh ke arahnya. “Maaf, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Kagurashi, Taro Kagurashi”, Taro mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Gadis itu menatap uluran tangan Taro. Kemudian ia mengalihkan pandangannya.
“Maaf”, sebuah suara menginterupsi.
Taro mendongak, mendapati seorang wanita tua gemuk yang melihat ke arahnya.
“Aku tidak bermaksud mengganggu kalian, tapi aku mau lewat. Bisakah kau beri aku jalan?”, wanita tua itu menunjuk ke arah tangan Taro yang menghalangi jalannya.
“Ah, maaf!”, Taro menarik tangannya, membiarkan wanita tua itu lewat.
Taro menunduk, membiarkan semburat merah menghiasi pipinya saat ia mendengar wanita tua itu bergumam ‘Dasar anak muda zaman sekarang’. Ia tahu, tempat duduknya dan tempat duduk gadis itu terpisah oleh koridor. Seharusnya gadis itu lebih cepat merespon salam perkenalannya. Ia mendengus kesal. Apa gadis itu memiliki keterbelakangan mental, pikirnya.
Taro menoleh, mendapati gadis yang sempat membuatnya kesal itu sedang membaca sebuah buku. Sepertinya sebuah buku novel berbahasa asing.
Gadis itu menyadari tatapan Taro. Ia menghentikan acara membacanya, kemudian membuka halaman awal buku novel tersebut. Ia mengarahkan jari telunjuknya yang panjang ke sebuah tulisan tangan yang ditulis dengan tinta hitam, Makino Airi.
“Eh?”, Taro terkejut. Makino Airi? Itu namanya?
“Apa kau bisu?”, pertanyaan itu terlontar dari bibir Taro tanpa sempat ia seleksi.
Tatapan tajam menjadi jawaban.
“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Pertanyaan itu keluar begitu saja. Maafkan aku!” ucap Taro panik. Gadis itu diam, kemudian mengangguk pelan.
Suasana hening tercipta di antara mereka.
“Aku ingin menjadi seorang pemimpin”, Taro memecah keheningan. “Dan di desa yang akan kudatangi itulah menjadi awal perjalananku.”
Airi tidak menanggapi ucapan Taro, ia kembali meneruskan bacaannya yang sempat terhenti.
“Aku punya banyak gagasan hingga kepalaku serasa ingin pecah. Sangat disayangkan jika ide-ide cemerlangku hanya aku yang bisa merasakannya. Aku akan melakukan banyak hal agar aku bisa memengaruhi banyak orang. Bukan, bukan memengaruhi dalam artian jahat atau buruk. Tapi memengaruhi agar orang lain bisa hidup lebih sejahtera. Aku ingin mereka berpikir seperti apa yang kupikirkan”, Taro terdiam. Teringat sesuatu, Taro mencari sesuatu dari tas jinjingnya.
“Aku juga menulis sebuah buku. Bacalah, sepertinya kau suka membaca”, Taro menyodorkan sebuah buku tebal pada Airi.
Airi menyudahi acara membaca novelnya. Ia meraih buku yang disodorkan oleh Taro, meletakkan buku tebal itu dipangkuannya dan mulai membaca dalam diam.
“Maaf, aku jadi bercerita padamu”, Taro terkekeh pelan. “Tujuan kita sama. Jadi apa kau penduduk di desa itu?”
Airi mengangguk pelan, pandangannya tetap ke buku tulisan Taro.
Taro tersenyum bangga, ada orang yang membaca bukunya dengan sangat serius. “Aku memang masih muda, tapi aku mengenal mereka yang berkuasa dan aku memiliki lumayan banyak pengalaman. Aku yakin, aku bisa mengubah desa itu”, Mata hitamnya berbinar optimis.
Terdengar bunyi buku yang ditutup.
“Sudah selesai membual?”, ucap sebuah suara.
“Eh?”, mata hitam Taro terbelalak, menatap nanar kea rah gadis yang dikiranya bisu.
“Aku tidak peduli sebanyak apa pengalamanmu, secemerlang apa ide-idemu, sedahsyat apa rencana-rencanamu. Satu hal yang harus kau tanam dalam ingatanmu baik-baik, jika kau datang sebagai musuh, pastikan kau siap mati”.
Pemuda berkulit putih itu terdiam. Mata hitamnya menatap tajam mata cokelat gadis yang sedang berdiri di hadapannya. Dirasakannya ada tekanan berat di pangkuannya. Buku tebal tulisannya.
“Belilah tiket pulang!”
0 komentar:
Posting Komentar