Crystal menatap kosong ke arah para pejalan kaki yang melewati café tempatnya berada. Mata cokelatnya meredup. Memperhatikan orang-orang yang hilir mudik dengan syal-syal tebal mereka, mencoba menghangatkan diri dari angin musim gugur. Ia hanya duduk diam di balik kaca, menunggu seseorang.
=========================
Poros
=========================
“Maaf, Nona”, suara seorang gadis mengalihkan perhatiannya.
Crystal menoleh, menatap pelayan yang memanggilnya. Pelayan dengan apron renda-rendanya itu tersenyum ramah.
“Apa Nona ingin memesan sesuatu yang lain?”, tanya gadis pelayan itu. Ia mengambil sebuah note kecil dan pensil dari saku apronnya, siap untuk menulis pesanan.
Crystal terdiam. Ia baru saja memesan segelas cappuccino. Mata cokelatnya segera beralih ke meja di depannya. Cappuccino yang dipesannya telah habis. Tangan putihnya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, melihat waktu yang tertera di layar yang menyala. Dua jam. Sudah dua jam ia berada di café itu dan ia hanya memesan segelas cappuccino. Ia mendengus, pantas saja ada pelayan yang mendatanginya.
Crystal menolehkan kepalanya, menatap mata biru si gadis pelayan. Kemudian tersenyum, “Aku memesan satu gelas cappuccino lagi.”
Gadis pelayan itu mencatat pesanan Crystal, “Hanya itu?”
Crystal mengangguk. Sekarang ia sedang tidak ingin memakan makanan manis untuk mendampingi cappuccino pesanannya. Mata cokelatnya memperhatikan pelayan itu beranjak menjauh.
Gadis berambut cokelat itu menghela napas. Dua jam ia menunggu. Ia hanya memandang ponselnya. Berharap ada sebuah panggilan atau pesan yang masuk. Ia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, di samping gelas cappuccino yang telah kosong. Membiarkan layar ponselnya kembali menghitam.
Bukan. Bukan hanya sekali ini ia menunggu. Sudah berkali-kali orang itu membuatnya menunggu. Kadang, ia lelah, namun ia hanya diam. Crystal tak mampu melawan. Ia layaknya sebuah boneka tali yang dipermainkan.
Orang itu adalah sang sutradara dalam hidup Crystal. Ia selalu tunduk pada perintahnya, menjalani setiap skenario yang telah disiapkan untuknya. Orang itu bersikap layaknya poros. Poros hidup Crystal. Semua mimpi, waktu, dan hidup Crystal berporos pada orang itu.
Crystal segera menghabiskan cappuccino pesanannya begitu seorang pelayan meletakkan segelas cappuccino di mejanya. Ia tersenyum miris, memegangi gelas cappuccino yang telah kosong dengan kedua tangannya. Ia sudah memutuskan. Orang itu tak akan menjadi porosnya lagi. Ia sudah lelah mengikuti setiap putaran orang itu. Putaran yang sama sekali tak pernah melirik padanya.
Gadis bermata cokelat itu bangkit dari duduknya, membayar dua gelas cappuccinonya seraya menarik koper kecilnya. Tangan kanannya mendorong pintu keluar café. Membiarkan wajahnya disapa angin musim gugur. Ia mengambil ponselnya, memperhatikan ponsel pemberian orang itu dalam diam. Bibir merah mudanya tersenyum miris. Ia telah memberikan kesempatan agar orang itu mendatanginya sebelum ia pergi. Sedikit berharap orang itu menganggap keberadaannya. Namun, ia bukan siapa-siapa bagi orang itu.
Crystal menarik kopernya, beranjak pergi dari tempatnya berdiri. Berjalan di jalan yang ingin dilaluinya, Ia berhenti sejenak di dekat sebuah tempat sampah. Membiarkan angin mempermainkan rambut keritingnya, menghalangi penglihatan matanya. Ia merogoh saku jaketnya, meraih ponsel yang menghubungkannya dengan orang itu. Ia tersenyum. Tali-talinya telah putus saat ponsel cokelat muda itu sampai di dasar tempat sampah.
0 komentar:
Posting Komentar