Aku mendongakkan kepalaku, mengalihkan perhatianku dari buku yang sedari tadi kubaca. Aku diam, mencoba mendengarkan pemberitahuan yang diumumkan dari masjid di dekat rumah. Fogging. Aku beranjak dari tempat dudukku, meletakkan bukuku lalu mengambil ponsel dan kunci rumah. Aku bergegas keluar rumah ketika suara alat fogging tersebut meraung-raung di rumah tetanggaku, sepertinya rumahku akan menjadi rumah kedua yang di-fogging hari ini.
Aku berdiri santai di bawah pohon sawo di halaman rumahku, memperhatikan asap putih yang perlahan keluar dari ventilasi-ventilasi rumahku. Sedikit menyesal, aku tidak membawa serta bukuku. Akhirnya aku hanya bisa memainkan ponsel kecilku sambil bercengkrama dengan tetanggaku yang sama-sama menunggu asap di rumah mereka keluar.
Aku tetap asyik dengan ponselku, tak peduli dengan sepasang suami istri yang bertamu ke rumah tetanggaku. Tentu saja, mereka bukan tamuku. Sepertinya mereka tidak bisa bertamu ke dalam rumah karena tetanggaku yang menjadi tuan rumah mengatakan bahwa rumahnya baru saja di-fogging. Aku tetap tidak peduli dan tetap asyik berkirim pesan dengan temanku. Hingga akhirnya, suara seorang pria mengalihkan perhatianku.
Aku mendongak, menatap mata lawan bicaraku. Pria yang menjadi tamu tetanggaku. Ia menanyaiku berbagai macam hal dan mengomentari setiap jawabanku. Aku mengintip dari balik bahunya, memperhatikan istri muda di pria yang mengajakku bicara. Sepertinya wanita itu berumur hampir 30 tahunan, dengan rambut hitam tergerai. Ia bersandar di motor sambil melipat kedua tangannya. Sepasang lengan jaket berwarna biru muda terikat di depan dadanya, melingkar melalui lehernya. Gaya kuno. Aku mendengus.
Celotehan pria, suami wanita tadi sekaligus tamu tetanggaku itu, mulai tidak rasional dan sedikit menyudutkan. Ia berkomentar berbagai hal, mulai dari cara berpakaian yang harus tertutup dan sopan, bersekolah di sekolah agama atau pesantren, dan harus bisa berbicara menggunakan bahasa Arab. Aku mendengus, mungkin ia pikir karena wilayah tempat tinggalku ini adalah desa, maka ia menganggap semua gadis desa itu akan selalu patuh dengan perkataan pria yang mengaku alim seperti dirinya. Ya, kalau tidak salah, ia adalah orang yang mengerti agama, begitu pengakuan tetanggaku. Aku tertawa sinis, mengingat komentarnya tentang cara berpakaian, kemudian membandingkannya dengan cara istrinya berpakaian. Ironis.
Pria itu terus saja berceloteh tentang bagaimana seharusnya berbahasa. Ia berpendapat bahwa bahasa Arab itu penting, sedangkan bahasa Inggris itu sama sekali tidak perlu. Sekali lagi aku mengangguk, membiarkannya membual sesuka hati. Ia terus saja bersemangat membicarakan pentingnya berbahasa Arab karena aku pernah menjawab salah satu pertanyaannya bahwa aku tidak bisa berbahasa Arab. Hingga akhirnya ia bergurau.
“Jika mereka yang hanya bisa berbahasa Inggris meninggal, lalu ditanyakan malaikat dalam kubur tentang siapa tuhan mereka, nanti mereka akan menjawab I Love You, hahaha…”
Aku terdiam. Mereka hanya bisa berkata I Love You?
Sekarang, siapa yang berpikiran sempit?
0 komentar:
Posting Komentar