“Hei!”, protesku. Aku merengut ke arah temanku yang baru saja mencuri telur dadar gulung dari kotak bekalku. Sedangkan gadis yang kutatap hanya tertawa kecil sambil mengunyah makanan di mulutnya.
“Hehehe, sorry…”, ucap Sarah seraya memamerkan deretan giginya yang putih.
Aku mendengus, “Setidaknya cuci tangan dulu sebelum kau makan. Dasar jorok!”
Sarah merengut ke arahku. “Kalau begitu, tak akan kuberitahu hal ini kepadamu”, ia menjulurkan lidahnya. Dasar anak kecil.
“Hal apa yang kau maksud, Sarah?”, tanya Luna tertarik. Sejenak, gadis berkulit cokelat ini menghentikan acara makan siangnya.
“Ah, sudah kuduga kau akan tertarik”, Sarah tersenyum riang.
Gampang sekali ekspresi gadis pendek yang sedang duduk di sampingku ini berubah. Sepertinya ia sudah melupakan kekesalannya padaku tadi.
“Apa kalian tahu?”, mata hitam Sarah berbinar. Instingnya untuk bergosip telah keluar.
“Tentu saja tidak”, aku mendengus. ”Kau belum cerita apa-apa”
“Oh iya, bukannya tadi aku tidak mau bercerita padamu?”, mata hitam gadis pendek ini menatapku tajam. “Tapi ya sudah lah, aku akan tetap menceritakannya karena hal ini berhubungan denganmu”, tambahnya lagi, kali ini sambil tersenyum.
Aku menaikkan sebelah alisku. Ada hubungannya denganku?
“Annie menyebarkan berita bahwa ayahmu adalah seorang koruptor dan sekarang sedang ditahan di dalam penjara”, ucap Sarah dengan wajahnya yang hanya berjarakl 15 cm dari wajahku, mendramatisir berita yang telah didapatkannya.
“Wow, luar biasa”, komentar Luna. “Kau lebih memilih bercerita hal seperti ini pada si Nona Pintar itu daripada kami yang merupakan teman baikmu ini?”
Aku memutar bola mataku bosan. “Sindiran yang bagus, Luna.”
“Memangnya kau pernah melakukan kesalahan apa pada Annie?”, tanya Sarah.
Aku hanya mengangkat bahu tanda tak tahu.
“Kau yakin?”
Aku mengangguk.
“Apa dulu kau pernah mengenalnya dan tanpa sadar membuatnya benci padamu?”, tanya Sarah lagi.
“Aku bahkan tidak pernah bicara secara langsung padanya sejak ia pindah ke sekolah ini. Apalagi mengenalnya di masa lalu, mustahil”, aku mendengus kesal.
“Kalau aku jadi kau, aku tak akan seyakin itu”, komentar Luna yang didukung anggukan kepala oleh Sarah. “Mengatakan bahwa kau pernah mencuri soal ujian nasional lalu menjualnya, pernah mencuri obat di rumah sakit untuk meracuni tetanggamu, mantan pengguna narkoba, dan sekarang ia mengatakan bahwa ayahmu seorang koruptor dan sekarang sedang mendekam di penjara. Apa itu semua berita konyol itu bisa disebarkan oleh orang yang tidak punya dendam padamu?”
“Entahlah”, jawabku. “Aku sendiri heran dengan sikapnya.”
“Apa kau akan menegurnya?”, mata Sarah kembali berbinar. “Kurasa akan jadi berita besar kalau kau memberinya sedikit pelajaran”, ucap gadis cantik itu antusias.
Aku hanya memutar bola mataku. “Kurasa hobi menggosipmu harus kau kurangi sedikit”.
Kulirik Sarah merengut.
“Kurasa Sarah ada benarnya”, komentar Luna. Sarah mengangguk antusias. “Tidak menutup kemungkinan ia akan menyebarkan berita bohong lagi. Siapa tahu kau adalah pendeita AIDS”.
“Lucu!”, komentarku sinis.
“Hei, coba lihat, itu dia si Nona Pintar”, tunjuk Sarah ke arah pintu masuk kelas. Spontan aku dan Luna menoleh ke arah objek pembicaraan kami sedari tadi.
Annie berjalan menuju tempat seorang pemuda yang sedang sibuk dengan laptopnya. Kulihat mereka berbincang. Rio, pemuda yang diajak Annie bicara, menghentikan kegiatannya sejenak. Ia mengerutkan keningnya, kemudian menoleh ke arahku. Oh, apa lagi berita yang Nona Pintar itu karang. Kulihat Rio berjalan ke arahku.
“Hei, Irene!”, sapa Rio.
“Hmm?”
“Kemarin kau ikut mendonorkan darah, bukan?”, tanya Rio, ketua pelaksana acara donor darah.
“Ya, ada masalah?”, tanyaku balik. Sebenarnya aku tidak mau mempertanyakan pertanyaan bodoh ini, tapi mengingat semua yang berhubungan dengan berita si Nona Pintar maka aku akan selalu bermasalah.
“Hmm…”, Rio menggaruk pelan pipinya, ragu. “Apa benar kau mengidap penyakit AIDS?”
Aku terdiam.
“Aku tak menyangka kalau aku berbakat menjadi seorang peramal”, komentar Luna sinis.
“Kalau begitu, kau bisa meramal masa depanku, Luna?”, tanya Sarah antusias.
Luna mendengus. “Tidak.”
“Huh, bukannya tadi kau bilang kau berbakat jadi peramal”, Sarah merengut.
“Rio…”, ucapku tertahan. “Apa Annie yang mengatakannya padamu?”
Pemuda berkulit putih yang berdiri di depanku tersentak. “Iya, benar. Katanya kau mengidap AIDS, jadi darah yang kau donorkan harus segera dimusnahkan”.
Aku menggeram. “Tenang saja, aku tidak mengidap penyakit itu. Terserah padamu mau kau apakan darah yang telah kudonorkan itu”.
“Oh, baiklah. Maaf aku tadi sudah menuduhmu”, ucap Rio gugup.
“Ya, tidak apa-apa”, jawabku. “Apakah urusanmu denganku sudah selesai? Aku mau bicara dengan Annie”.
“Oh, iya, sudah. Terima kasih ya”, pemuda tinggi itu berlalu menjauh.
Aku mendekati Annie yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku. Tips Mencari Teman? Aku mendengus membaca judul buku yang ia baca.
“Annie…”, panggilku. Tangan kananku menyentuh pundaknya, membuatnya menoleh ke arahku. Mata cokelatnya menatap mata biruku. Aku menaikkan sebelah alisku saat kulihat senyum di bibir tipisnya.
“Bisa bicara sebentar?”
“Tentu saja, temanku!”, ucapnya riang.
Aku mengerutkan keningku. Temanku? Apa aku tidak salah dengar? Lalu, apa maksud senyum riangnya itu? Aku menarik kursi yang terletak di depan Annie, kemudian duduk. Kulihat Annie menutup buku yang sedang dibacanya sebelum kuganggu.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”, Annie bertanya dengan senyum di bibirnya.
Aku menghela napas. “Apa maksudmu mengarang cerita konyol tentangku?”
Ia terdiam. “Aku tidak bermaksud apa-apa”.
“Apa aku pernah berbuat salah padamu?”
Ia menggeleng.
“Lalu?”
“Lalu apa?”
Aku mendengus. “Apa tujuanmu menjadikanku tokoh remaja kriminal di setiap cerita konyol yang kau sebarkan?”
“Aku sama sekali tidak punya niat jahat padamu! Percayalah padaku!”, ucapnya keras.
“Baik”, aku kembali menghela napas. “Annie, aku tahu kau adalah anak yang jenius, berasal dari keluarga kaya, memiliki wajah cantik, dan hidupmu sempurna”.
Mata cokelat Annie menatapku tajam.
“Aku sama sekali tidak punya alasan untuk kau singkirkan, karena aku bukan ancaman untukmu. Jadi, berhentilah mengarang cerita konyol tentangku”.
“Aku tidak mengarang cerita konyol. Aku hanya memerhatikanmu”, balas gadis berambut panjang yang duduk di hadapanku ini.
“Memerhatikanku?”, aku menaikkan sebelah alisku, bingung.
Annie tersenyum, “Ya, aku memerhatikanmu karena aku ingin berteman denganmu”.
Aku terdiam.
“Karena kau adalah orang yang cocok menjadi teman pertamaku”, sambungnya riang.
Teman pertama? Aku mendengus.
“Annie…”
“Ya?”, tanyanya penasaran, masih dengan senyum manis yang ia pasang di bibir tipisnya. Mata cokelatnya menatapku intens.
“Kurasa kau bisa kembali berteman dengan buku-bukumu”.
Martapura, 12 Agustus 2011
0 komentar:
Posting Komentar