Aku mengintip di balik pagar semen yang beberapa senti lebih tinggi dari tubuhku. Aku memperhatikan halaman yang sepi itu. Hingga mataku menangkap siluet seorang gadis kecil sepertiku. Ia berjalan ke arahku.
“Hai, Desi!”, sapaku.
Gadis itu menjawab, “Eh Ina, ngapain kamu di sini?”, ia mengerutkan keningnya.
“Aku mau jajan”, sahutku riang.
“Oh!”, ia menganggukkan kepalanya. Membuat rambut hitam panjangnya bergerak. “Bagaimana kalau kita jajan bareng?”
Aku pun mengangguk menyetujui usul teman kecilku itu.
“Eh, aku membawa dompet”, Desi menyodorkan sebuah dompet kecil di hadapanku. ia memamerkan senyum lebar di wajahnya.
“Wah, hebat sekali!”, komentarku antusias. Aku bahkan tidak punya dompet untuk menyimpan semua uang jajanku.
Desi adalah temanku di sebuah taman kanak-kanak. Sepulang sekolah, aku pulang ke rumah pengasuhku karena kedua orangtuaku sibuk bekerja, sedangkan Desi menemui ibunya yang seorang guru sekolah dasar. Biasanya ia berkeliaran di lingkungan sekolah itu, masih dalam seragam birunya, sama seperti sekarang. Sedangkan aku sudah berganti baju dengan baju kaos dan celana pendek.
“Bagaimana kalau kita menggabungkan uang jajan kita lalu kita belanjakan bersama?”, usul Desi lagi.
“Kenapa harus begitu? Bukannya kau juga diberi uang oleh ibumu?”, tanyaku sambil merengut.
“Tentu saja supaya tambah banyak!”, sahut Desi antusias. “Jadi kita bisa jajan lebih banyak!”
Tergiur dengan tawaran Desi untuk bisa jajan lebih banyak, aku pun menyetujuinya.
“Oke!”, jawabku.
“Kalau begitu, masukkan semua uangmu ke dompetku ini”, perintah Desi.
Tanpa menghitung jumlah uangku maupun uang Desi, aku langsung memasukkan semua uang koinku ke dompet kecil di tangan Desi. Kebetulan uang jajan yang diberikan oleh pengasuhku hari itu adalah uang koin semua. Sedangkan uang Desi berbentuk kertas. Akhirnya, dompet itu penuh akan gabungan uang jajan kami berdua dengan kesepakatan untuk membelanjakannya bersama.
Aku dan Desi berjalan menuju bagian pojok sekolah. Bagian di mana banyak penjual jajanan berkumpul. Di taman kanak-kanak sulit untuk menemui penjual jajanan jika dibandingkan dengan di sekolah dasar.
Banyak jajanan yang kami beli. Perlahan, uang di dalam dompet itu pun semakin sedikit, khususnya uang koin. Hingga akhirnya, semua uang koin habis.
Tangan kecilku meraih selembar uang kertas dari dompet Desi.
“Jangan! Itu uangku!”, teriak Desi.
“Eh?”, aku tertegun.
“Semua uangmu sudah habis.”
“Apa maksudmu?”, aku bertanya. Bukankah kesepakatan awal kumpulan uang bersama itu digunakan untuk bersama?
“Uangmu tadi adalah uang koin dan uangku adalah uang kertas. Sekarang, semua uang koinmu sudah habis, jadi kamu sudah tidak bisa jajan lagi.”
Aku merengut kesal. “Bukannya kau tadi jajan menggunakan uang koinku? Lalu kenapa aku tidak boleh menggunakan uang kertasmu?”, protesku.
Desi memutar bola matanya. “Tidak bisa! Uangmu adalah uang koin, dan yang tersisa sekarang adalah uang kertas. Artinya uangmu sudah habis dan yang tersisa adalah uangku.”, sahut Desi seraya merebut uang kertas dari tanganku. “Lagipula ini adalah dompetku, jadi isinya adalah milikku.”
“Tapi tadi kamu menggunakan uangku untuk jajan!”, aku masih protes.
“Itu salahmu! Kenapa menghabiskan uangmu lebih dulu?”, sahut Desi sinis. “Sekarang, kamu pulang saja! Uang jajanmu sudah habis.”
Aku menggeram kesal.
What the fucking hell!!!
0 komentar:
Posting Komentar