Selasa, 18 Oktober 2011

Dua Pion Putih

Diposting oleh ainahafizah di 07.19
“Kenapa?”
Dia tersenyum. “Menurutmu, kenapa sesuatu disebut tidak normal?”, tanyanya balik.
Alis cokelat merahku tertaut. “Aku yang bertanya lebih dulu. Baiklah, karena sesuatu itu berbeda dari yang lain. Begitu?”, aku bersandar di sofa merah di belakangku.
“Kau dan aku berbeda. Siapa yang tidak normal di antara kita?”, ia menyeringai.
Aku merengut. “Jika aku sama seperti kebanyakan orang, maka kau yang tidak normal”, aku balik menyeringai.
Jemari putih panjangnya berhenti memainkan sendok kopinya. Mata hijaunya menatapku.
“Apa yang kau lakukan?”, tanyaku ketika ia meletakkan pion-pion catur di meja yang membatasi kami.
Ia tersenyum padaku setelah meletakkan pion terakhir. “Menurutmu, apa ada yang aneh?”
Aku memandang susunan pion catur dihadapannya. Satu pion hitam terapit pion-pion putih. “Pion hitam?”, kataku sangsi.

“Seandainya pion putih adalah orang baik dan pion hitam adalah orang jahat, maka orang jahat adalah tidak normal karena ia sendiri di antara orang-orang baik. Namun…”, ia mengangkat salah satu pion putih kemudian meletakkannya di antara pion-pion hitam di sudut meja. “Jika pion putih diletakkan di antara pion-pion hitam, siapa yang tidak normal?”
Aku terdiam. “Seharusnya, tetap pion hitam”.
“Seharusnya?”, tanyanya sangsi. Kulihat dari ekor mataku, alis pirangnya terangkat.
“Ya, seharusnya.”
“Bukankah tadi kau yang mengatakan bahwa jika sesuatu berbeda dari populasinya, maka sesuatu yang sendiri itu adalah tidak normal?”
Aku mengangguk.
“Jadi, kali ini pion putihlah yang tidak normal”.
“Kurasa definisiku tentang tidak normal yang salah”.
“Mungkin”, ucapnya sembari mendengus. “Tapi inilah kenyataan. Pion putih yang tersudut”, jemari putihnya memainkan pion putih yang dimaksud.
“Lalu? Apa ini ada hubungannya dengan pertanyaanku?”
“Ya. Ini adalah jawabanku”, jawabnya sambil tersenyum.
“Kau adalah pion putih?”
“Mungkin”.
Aku mengambil satu pion putih kemudian meletakkannya di samping pion putih yang baru saja dipermainkan olehnya. “Ada pion putih yang lain. Aku”.
Ia tertawa kecil.
Aku menyeringai. “Seharusnya kita bangga”.
“Tidak juga”, sahutnya santai sembari menyerup kopinya.
Aku mengerutkan keningku. “Kenapa?”
“Walaupun mereka adalah pion hitam, namun mereka dulu adalah pion putih”.
“Kata kuncinya adalah dulu. Sekarang?”, tanyaku sinis.
Ia mendengus. “Entahlah. Kadang, ketika cobaan berat datang, ada dua pilihan, menyerah atau melawan. Ketika memilih untuk menyerah, orang lain pasti akan memahami dan merasa kasihan karena cobaan yang dihadapi sangat berat. Kita tidak bisa menyalahkan mereka yang menyerah dan berubah menjadi pion hitam”.
“Tapi masih ada pilihan untuk melawan”, ucapku, keras kepala. “Seandainya mereka memilih untuk melawan dan berani mengatasi cobaan berat itu, orang-orang justru akan kagum”.
Ia tertawa kecil. “Ya, seandainya”.
Aku ikut tertawa. “Sayangnya, kita hanya pion, bukan raja dan ratu”.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Aina's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea