Ia dan mereka tinggal di rumah yang sama. Rumah besar dengan ribuan pintu. Pintu berbagai warna, menyimpan rasa, membalut misteri.
Mereka berdiri di sana, di depan sebuah pintu hitam. Pintu yang menjanjikan kebahagiaan semu, perlahan membutakan hati, menguncinya dalam hasrat keliru. Ia diam. Tangan-tangan mereka terulur, menariknya dalam aliran yang bukan jalannya. Ia menepis, mencoba bertahan dari tatap penuh cerca.
Ia bangkit, tapi bukan untuk sang pintu hitam. Pintu itu tersenyum sinis padanya. Tapi ia bukan mereka. Mereka yang tunduk pada sang pintu. Mereka yang bertameng kertas-kertas putih yang berdusta. Mereka yang terbelenggu kilau palsu. Ia bangkit untuk pintu yang lain. Bukan, bukan pintu putih tujuannya. Pintu merah.
Jemari putihnya menyusuri ukiran sang pintu merah. Menghirup aroma panas yang membakar dadanya. Ia ingat. Ia dapat merasakan denyut jantungnya yang kembali liar. Menayangkan ulang rasa yang dipermainkan. Ia jatuh pada pintu ini. Namun, ia tak punya kunci.
Ia berjalan di lorong gelap, meraba sebuah pintu. Pintu yang tak ia tahu warnanya, aromanya. Pintu yang memberikannya alasan bertahan. Iramanya berbeda, namun debaran di dadanya kembali.