Minggu, 19 Agustus 2012

Mengubah Merubah

Diposting oleh ainahafizah di 15.40

Aku mendengus pelan. Kedua tanganku bertaut, menopang dagu. Mata hitam di balik bingkai kacamata merahku mentap miris sebuah kata. Sebuah kata yang merasuk ke lidah-lidah kelu. Kata yang menjadi benalu di tangan-tangan pasrah.
Aku tidak menyangka, kata ini sanggup menembus berbagai pertahanan. Betapa memesonanya kata ini sampai ia mampu membutakan para sarjana, membuat mereka lupa akan aturan. Kata tangguh yang mampu menorehkan diri di lembaran putih kebanggaan para intelektual.

MENGUBAH MERUBAH

Aku menoleh, merasakan sepasang mata menatapku tajam. Salah satu alisku terangkat, membalas tatapan mata cokelat itu.
“Ada yang lucu?”
Aku menatapnya bingung, tersenyum, kemudian berkata “Tidak ada”. Aku mengalihkan perhatianku kembali ke depan, berpura-pura memperhatikan seorang wanita tua yang terus berbicara sejak tadi.
“Jangan bohong! Aku melihat dengan jelas kau mendengus sinis, ditambah seringai jelekmu itu”, gadis pemilik mata cokelat tadi mengajakku bicara.

“Jelek?”, aku mengangkat sebelah alisku, membiarkan mata hitamku berbinar canda. “Kurasa kau tahu alasannya jika kau tidak sibuk bermain iPad sejak tadi”.
“Huh?”
“Ehem! Nona Regi, ada yang ingin kau tanyakan?”, tanya wanita gemuk yang sedang berdiri di depan kelas.
Gadis berambut cokelat yang dimaksud tampak panik. “Ah, tidak ada, Bu”.
Wanita tua tersebut mengangguk-angguk. “Kalau begitu, tolong jangan ribut dan simpan mainanmu itu. Jika kau mau bermain dengan mainan canggihmu itu, silakan tinggalkan kelas ini”.
“Ah, baik”, Regi memasukkan iPad putihnya ke dalam tas. Mata cokelatnya menatap tajam ke arahku.
Aku terkekeh, “Aku tidak ikut campur”.
“Lalu, apa yang membuatmu menampakkan seringai jelek itu?”, tanya Regi tanpa menoleh ke arahku. Tubuhnya mengarah ke depan.
Aku hanya diam. Seruan pelan Regi memaksaku melirik ke arahnya.
“Aaah! Aku tahu. Kata yang kau benci, bukan?”, tanyanya sambil menyeringai.
Bukankah tadi dia yang mengatakan seringai itu jelek. Aku mendengus.
“Yah, mau bagaimana lagi, sudah menjadi kebiasaan orang-orang menulis dan mengatakannya seperti itu”, ujarnya pelan.
“Bahkan seorang intelektual sekalipun?”
Regi mengangguk pelan.
Aku menyandarkan punggungku di sandaran kursi di belakangku. Tangan kananku mempermainkan pulpen pink kesayanganku.
Merubah, merubah, dan merubah. Memangnya siapa yang mau menjadi rubah? Siluman rubah?”
“Menjadi rubah?”, Regi menatapku dengan binary canda di sepasang mata cokelatnya.
“Bukankah itu arti kata merubah?”, tanyaku sangsi.
“Bodoh! Maksud mereka dengan merubah adalah membuat perubahan”, Regi mendengus.
Aku memutar bola mataku. “Kata dasar ubah jika mendapat umbuhan me- akan menjadi mengubah, bukan merubah. Merubah berarti menjadi rubah. Kau tahu apa itu rubah?”
Regi menatapku tajam. “Kau kira aku anak umur lima tahun?”
Aku mengangkat kedua bahuku.
“Katakan saja pada mereka”, saran Regi.
“Sudah”, sahutku santai.
“Tidah ada yang berubah”.
Regi menggeleng pelan. “Merubah akan tetap menjadi benar jika tidak ada yang membuktikannya salah”.
“Lalu kau pikir Kamus Besar Bahasa Indonesia itu apa?”
Regi mendengus, “Ah, kau benar”.
Aku menegakkan badanku, menopang daguku dengan kedua tanganku yang bertaut. “Mungkin sebaiknya ubah saja kata dasar ubah menjadi rubah, jadi mereka tidak akan salah jika menyebutkan kata merubah”.
Regi melemparkan notes kecilnya ke arahku.
“Nona Regi, ada apa lagi?”, tanya wanita tua di depan kelas dengan wajah bosan.
“Ah, maaf, tangan saya terkilir”, sahut Regi dengan wajah bersalah.
Wanita tua itu mendengus.
“Kenapa kau melemparku?”, tanyaku, kakiku menggeser notenya yang terjatuh ke lantai pasca dilempar ke arahku.
“Kau pikir kau siapa bisa mengubah isi Kamus Besar Bahasa Indonesia?”
“Bukan aku, tapi para intelektual itu yang akan mengubahnya”.
“Tapi kata rubah itu sudah ada artinya. Dasar bodoh!”, Regi tersenyum sinis.
“Lalu, bagaimana dengan mereka yang menggunakan kata merubah? Apakah mereka bodoh?”

Catatan :
Pertama-tama, silakan lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. ^_^
Ini hanya sebuah cerita fiksi yang terinspirasi dari beberapa kejadian nyata. Aku tergerak untuk menulis ini setelah membaca sebuah pengumuman lomba yang tidak bisa kuikuti, namun aku sangat tertarik dengan temanya, yaitu tentang Bahasa Indonesia. Tentu saja karena aku suka dengan Bahasa Indonesia. Cerpen ini hanyalah wujud kecintaanku pada Bahasa Indonesia yang sering diabaikan dan ditentang aturan bakunya. Saya menerima kritik dan saran kok, jadi silakan meninggalkan komentar di bawah. ^_^

0 komentar:

Posting Komentar

 

Aina's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea