Kamis, 20 Januari 2011

Mawar Tua

Diposting oleh ainahafizah di 19.12
“Aku tak percaya dia seorang wanita”, gumam Sebastian. Ia menunduk, membiarkan helaian poni hitamnya menutup sebagian wajah pucatnya. Jemari putihnya yang panjang melebar, berusaha menyangga kepalanya yang terasa semakin berat.
“Siapa?”, Tanya Renata, wanita berambut merah yang berjalan mendekati Sebastian. Ia membawa sepiring besar kalkun panggang. Kemudian duduk di depan Sebastian.
Sebastian menghela napas. “Si pembunuh berantai”, jawabnya.”Seorang saksi melihat sosoknya.”
Renata memutar kedua bola matanya. “Kalau ia benar-benar seorang wanita, maka aku akan sangat cemburu. Berani-beraninya ia mengambil seluruh perhatian suamiku, bahkan saat suamiku sedang makan malam denganku.”
Sebastian menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan.
=========================
Mawar Tua
=========================
“Aku berjanji tak akan membiarkan pembunuh misterius ini menyentuhku, apalagi sampai membunuhku”, ucap Renata. Mata cokelat tuanya menatap mata hitam pria di depannya. Jemari putihnya membelai pipi Sebastian.
 “Kau tak mengerti, Renata”, Sebastian menggenggam jemari putih yang sedari tadi mengelus pipinya. “Ia bisa membunuhmu kapan saja.”
“Ia tidak punya alasan untuk itu.”
Sebastian menghela napas. “Pergi tanpa pengawalan adalah hal terbodoh yang bisa kau lakukan sekarang.”
“Tapi aku sudah biasa bepergian sendiri.”
“Tidak di saat pembunuh berantai itu masih berkeliaran.”
Renata terdiam. Ia menarik tangannya dari genggaman Sebastian. Ia berjalan menuju meja kerjanya yang terdapat beberapa botol kristal yang terdapat cairan berwarna-warni di dalamnya. Jemarinya meraih sebuah botol berisikan cairan berwarna merah muda, menggoyang-goyangkan botolnya.
“Aku ingin semua orang bisa menikmati wangi parfum-parfum ini”, gumam Renata. Ia adalah seorang pembuat parfum. Mengekstrak berbagai bahan, kemudian mengambil wangi yang dihasilkannya. Mencampurkan berbagai ekstrak sehingga tercipta wangi yang lembut dan memabukkan.
Sebastian berjalan mendekati Renata, menepuk pundak wanita itu. “Di mana kau menginap?”
Renata tersenyum mendapat sinyal positif dari suaminya. “Di mansion tua milik keluarga pamanku, di tepi kota.”
Sebastian mengerutkan keningnya, “Kau yakin akan menginap di sana?”
Wanita cantik berambut merah itu hanya mengangguk, memasang senyum di bibir tipisnya.
“Baiklah, kau boleh pergi. Dengan syarat kau harus membawa beberapa orang pengawal bersamamu dan…”
“Tenang saja, aku akan menepati janjiku”, potong Renata.
Sebastian tersenyum, mengusap-usap rambut merah istrinya.
=========================
Sebastian memandangi beberapa foto yang sengaja dijejerkannya di atas meja kerjanya di kantor. Tujuh buah foto dengan orang yang berbeda. Namun, ada kesamaan di antara ketujuh foto tersebut. Sebuah sayatan panjang di leher.
“Permisi!”
Sebastian mendongakkan wajahnya. “Masuk!”
Seorang pria muda berperawakan tinggi berjalan ke arahnya. Ia membawa sebuah map yang diperkirakan salah satu isinya berupa selembar foto. Foto yang akan ikut berjejer bersama foto lainnya.
“Kabar buruk?”, tanya Sebastian.
Pria muda itu mendengus kesal. “Apa aku terlihat seperti kurir pembawa berita buruk bagimu?”
Sebastian menggedikkan bahunya. “Faktanya, pembunuhan berantai ini bermula sejak kau pindah kemari.”
Pria berambut cokelat itu memutar bola matanya. “Kau punya sense humor  yang buruk.”
Sebastian mendengus. “Lalu, siapa kali ini?”
“Bangsawan muda Aurelio”, sahut Gael. Ia meletakkan map berisi foto seorang pria muda berambut merah yang berbaring bersimbah darah, mengotori baju kebangsawanannya yang berwarna putih itu. Sebuah sayatan panjang di lehernya.
“Jumlahnya menjadi delapan orang. Tiga pria dan lima wanita”, komentar Gael. “Dan sepertinya status sosial maupun pekerjaan antar korban tidak memiliki kesamaan sama sekali.”
“Pembunuhnya memilih secara acak”, tambah Sebastian. Ia meletakkan foto sang bangsawan di barisan paling akhir, sesuai urutan.
Gael hanya mengangguk setuju.
“Dan pembunuh cantik kita adalah seorang wanita gila.”
Sebastian mengerutkan dahinya. “Kau lupa bahwa saksi kita mabuk saat melihatnya.”
“Kau benar”, Gael bersandar di samping meja Sebastian. Sebelah tangannya memegang dagu, memasang pose berpikir. “Rambut panjang bukan berarti ia seorang wanita. Lagipula, menurut saksi, ia memakai mantel panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Pasti ada sesuatu yang membuat pria itu mengatakan bahwa ia seorang wanita.”
“Ciri khas wanita.”
“Anting?”
Sebastian mendengus, “Pembunuhan terjadi di lorong yang sangat gelap, bagaimana bisa saksi yang mabuk itu bisa melihat anting kalau ia mengatakan bahwa pembunuh itu memiliki rambut yang panjang?”
“Kalau begitu sama halnya dengan cincin?”
“Kecuali anting dan cincin itu terbuat dari batu mulia yang berkilau.”
“Maksudmu, pembunuh kita seorang bangsawan?”, Gael menatap Sebastian, ragu.
Sebastian mengangguk. “Tidak menutup kemungkinan. Kasus pembunuhan ini tidak disertai adanya perampokan.”
“Wanita ini benar-benar sudah gila”, Gael memasang wajah jijiknya.
“Cukup gila untuk membunuh seorang pria dengan pisau delapan inci.”
“Jika asumsi kita benar bahwa wanita ini seorang keluarga bangsawan, maka tidak heran jika ia memiliki pisau kecil yang tajam dengan ukiran yang rumit pada gagangnya.”
“Ukiran?”
Gael menggaruk tengkuknya ragu, “Hanya asumsiku. Lupakan saja!”
Sebastian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi hitamnya. Sedikit mendongakkan kepala. “Sekarang jam berapa?”
Gael mengeluarkan sebuah jam bundar yang terhubung dengan rantai dari saku jas cokelatnya. “Pukul enam sore. Sudah hampir gelap. Kalau kau masih mau bekerja di sini, biar aku nyalakan lilin untukmu.”
Sebastian langsung menegakkan tubuhnya di atas kursi. “Tidak perlu. Aku akan segera pulang.”
Jemari putih panjang Sebastian menyusun satu persatu foto korban pembunuhan berantai ini. Mata hitamnya menyiratkan kekecewaan. Kecewa pada diri sendiri yang tak kunjung bisa menangkap pelaku pembunuhan berantai ini.
“Oh ya, kurasa ciri fisik mereka sama.”
“Maksudmu rambut mereka yang berwarna merah?”, tanya Sebastian sambil memasukkan semua foto itu ke dalam sebuah amplop cokelat.
Tercipta keheningan di antara mereka. Ya, salah satu ciri fisik para korban yang sama adalah rambut merah mereka. Dan ada seorang berambut merah yang masih hidup di luar sana. Rambut merah panjang.
=========================
Renata mendengar suara aneh dari luar kamarnya. Berinisiatif mencari sumber, ia membawa serta lilin kecil di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengeratkan mantel tebal yang dipakainya.
“Anna? Kau kah itu?”, tanyanya saat melewati lorong yang gelap menuju dapur.
Tak ada yang menyahut. Hanya desiran angin malam yang menyentuh pipinya yang bersemu merah, menahan dingin. Tiba-tiba terdengar sesuatu yang berat terjatuh. Ia segera menoleh, untuk mendapati lorong gelap yang kembali sunyi.
Tak ada yang keluarga bangsawan yang tinggal di mansion tua pamannya itu lagi. Hanya ada Anna si pelayan tua dan anaknya, Rosa, yang tinggal untuk menjaga mansion tua itu.
Renata menuruni tangga besar di tengah ruangan dengan perlahan. Berhati-hati pada segala sesuatu yang tiba-tiba bergerak. Ia berhenti melangkah saat tiba di lantai dasar. Matanya melebar menatap dua sosok pria besar yang bersimbah darah terduduk kaku di samping pintu masuk mansion ini. Ia menutup mulutnya, melihat sebuah lubang di pelipis masing-masing pengawalnya itu.
Renata membeku di tempatnya berdiri setelah mendengar derap langkah dari kegelapan yang mendekatinya. Namun, derap langkah itu tiba-tiba berhenti digantikan oleh sesuatu yang ambruk. Renata langsung berlari menaiki tangga, menuju kamarnya. Tempat yang diperkirakan aman.
Renata segera mengunci pintu kamarnya setelah ia memasuki ruang tidur yang cukup besar itu. Namun, saat ia berbalik, ia mendapati seorang wanita menyeringai padanya. Ia menjatuhkan lilin yang ada di tangan kanannya, menatap nanar pada sosok yang menodongkan sebuah pistol tepat di tengah dahinya yang tertutup poni merah.
=========================
“Minggir!”, Sebastian berteriak marah pada orang-orang yang bergerombol mengelilingi sebuah mansion tua di tepi kota yang terbakar. Mansion tua yang hanya menyisakan dinding-dindingnya yang kokoh.
“Kubilang minggir!”, Sebastian menerobos kerumunan orang hingga sampai di depan mansion yang terbakar. Matanya melebar saat melihat sesosok mayat diangkut melalui tandu. Mayat seseorang yang telah hangus terbakar. Ia berlari mendekati mayat itu. Namun, tak bisa dikenali.
Sebastian mengepalkan tangannya, marah. Tubuhnya bergetar menahan emosi.
“Sial!!!”
=========================
Sebastian duduk di kursi kerja istrinya di mansionnya. Ia memainkan cairan berwarna-warni hasil rekayasa Renata terhadap berbagai ekstrak. Menghirup wangi yang dihasilkan penguapan cairan yang telah dioleskannya ke tangannya tersebut. Wangi segar lemon dan kayu manis. Wangi yang menentramkan, namun itu bukan wangi Renata.
Ia menggeledah semua isi meja kerja Renata. Berbagai parfum dengan berbagai bau telah ia coba, namun tak ada yang membuatnya lebih tenang dan nyaman. Hingga ia menemukan sebuah cairan merah tua di laci paling bawah.  Warna yang mengingatkannya pada warna rambut Renata. Merah.
Sebastian sudah lelah dengan kasus pembunuhan yang tidak berhenti ini. Sehari sebelumnya telah ditemukan korban ke-sepuluh, setelah Renata yang merupakan korban ke-sembilan. Banyak pertanyaan yang terbayang di benak Sebastian, mengapa Renata? Mengapa Renata menjadi salah seorang korban? Atau, benarkah Renata adalah korban?
Semua korban pembunuhan ditemukan dengan keadaan leher yang disayat, namun mengapa Renata justru dibakar hingga hangus dan tidak bisa dikenali lagi?
Lamunan Sebastian terhenti ketika seseorang mengetuk pintu ruangan tempatnya mengistirahatkan diri, mengenang Renata.
“Masuk!”, perintah Sebastian.
Seorang pria muda memasuki ruangan tersebut. Mata hitam Sebastian memperhatikan gerak-geriknya
“Kau pasti terkejut dengan hasilnya”, kata Gael seraya menyerahkan map yang berisi laopran hasil autopsi mayat yang hangus terbakar di mansion tua milik paman Renata.
Sebastian menaikkan salah satu alisnya. Mata hitamnya melebar membaca hasil laporan itu. Mayat itu bukan Renata.
=========================
Wajah pria tua mengkerut. “Bukankah sudah kukatakan pembunuh itu adalah seorang wanita?”, katanya bosan.
Sebastian berada di kantornya untuk menanyai saksi mata yang melihat si pembunuh dan mengindentifikasikannya sebagai seorang wanita.
“Ya, aku tahu. Aku hanya ingin memastikan apa yang membuatmu mengatakan bahwa ia seorang wanita. Kurasa rambut panjang bukan satu-satunya alasan kau mengatakannya sebagai wanita, bukan begitu Tuan?”, tanya Sebastian, memojokkan.
Pria tua itu meneguk ludah. Ia lupa. “Aku tidak ingat hal yang lain.”
Sebastian hanya diam menatap pria tua di hadapannya. Keringat dingin mengalir dari pelipis pria gendut itu.
“Baiklah”, ada jeda sejenak. “Aku ingin memintaku untuk melakukan sesuatu.”
Pria tua itu mengerutkan keningnya, bingung. “Apa?”, tanyanya gugup.
Sebastian mengeluarkan sebotol parfum berwarna merah yang ditemukannya. Botol kristal berisi parfum berwarna merah yang terletak di laci paling dasar meja milik Renata. Parfum yang mampu mengingatkan Sebastian pada Renata. Wangi Renata.
“Cium ini!”, Sebastian membuka tutup botol parfum itu.
Pria tua di hadapan Sebastian itu menutup matanya. “Ya, itu dia!”
Sebastian hanya diam, menunggu reaksi selanjutnya dari si pria tua. Menunggu kepastian akan kebenaran yang tidak ingin diketahuinya. Berharap semua prasangka buruknya salah.
“Itu wangi yang tercium dari si wanita pembunuh itu!”

Martapura, Januari 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 

Aina's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea