Kamis, 20 Januari 2011

Bibir Gula

Diposting oleh ainahafizah di 18.29
  "Terima kasih, Renata!", ucap gadis bertubuh tambun di hadapanku. Aku baru saja memujinya. Ia memakai gaun ungu tua dengan banyak smok di tubuhnya yang terbilang tidak kurus. Ditambah lipstik cokelat tua dan sapuan blush onmerah jambu di pipi gembulnya. Tak lupa gradasi eye shadow berwarna biru menghiasi kelopak matanya. Kulihat mata hitamnya berbinar. Senyum melengkung di bibirnya yang tebal. Senang akan rangkaian kata yang keluar dari bibirku.
     "Iya", jawabku sembari melepas remasan tangan putihnya di kedua bahuku.
   Aku melirik ke arah kanan. Sorotan tajam mengarah padaku. Aku hanya tersenyum kemudian memberi isyarat pada Delfina, nama gadis di hadapanku itu, bahwa aku harus pergi.
Bibir Gula
  
      "Kau berbohong." 
      Aku memiringkan kepalaku sembari menoleh ke sumber suara. "Apa maksudmu?"
     "Kau berbong pada temanmu barusan."
     "Bohong tentang apa?", tanyaku. Dahiku berkerut  bingung.
   "Pujian yang kau ucapkan barusan pada gadis itu adalah kebohongan. Yang ada di pikiranmu berbeda dengan apa yang kau ucapkan.", jelas pemuda berambut hitam yang berjalan di sampingku. 
  Aku mengerucutkan bibirku. "Tahu dari mana Kau bisa menyimpulkan kalau aku berbohong?"
     "Matamu."
     "Apa?" 
     "Apa Kau tidak pernah mendengar bahwa mata bisa bicara?", pemuda itu balik bertanya. 
     "Berarti mata itu curang! Ia mengambil tugas mulut.” 
     Kulirik Juan, nama pemuda yang berjalan di sampingku itu. Dari ekor mataku bisa kulihat ia memutar bola matanya. Aku tertawa kecil.
     “Apanya yang lucu?”, Juan merengut kesal.
     “Tidak ada,” sahutku.
     Aku berhenti di salah satu stand yng menjual berbagai pernak-pernik. Juan ikut berhenti di belakangku. Aku melirik sebuah boneka buatan tangan yang berbahan bulu sintetik berwarna merah muda. Kuelus-elus boneka berbentuk kelinci itu.
     “Cantik sekali,” ucapku. 
     Juan menatapku. “Beli saja!”, perintahnya tiba-tiba. 
     “Eh?”, aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. 
     “Kau suka kan?”, tanyanya. 
     Aku mengangguk kemudian tersenyum. 
     “Dia juara,” ucapku sembari kembali berjalan mengelilingi area pameran ini. 
     Juan menatapku bingung. Aku bisa melihat alisnya yang bertaut. Aku mendengus.
     “Delfina tidak memerlukan komentar dariku,” lanjutku. “Dia ahli dalam bidangnya. 
    “Tapi setidaknya kau mengatakan bahwa penampilannya barusan seperti badut sirkus,” protes Juan. 
     Aku mendengus, “Bukankah tadi aku sudah mengatakan bahwa dia ahli?” 
     Juan mengangguk.
     “Dan seorang yang ahli tidak memerlukan komentar murahan dariku. 
     “Jadi, isi pujianmu padanya itu kosong,” Juan menyimpulkan. 
    “Lalu, kau mau aku berbuat apa? Berkata jujur padanya bahwa ia terlihat seperti badut sirkus? Kemudian membiarkannya menendangku? Tidak, terima kasih.”
     Juan memutar bola matanya kesal. “Tapi apabila kau mengatakannya, setidaknya ia bisa mengubah sedikit penampilannya yang aneh itu.”
     “Setiap orang ingin dipuji, Juan. Apapun hasil pekerjaan mereka, setiap orang pasti ingin dipuja.”
     “Kurasa sedikit kritik tidak akan menghancurkan mereka,” sanggah juan.
    “Kau pikir mereka mau mendengar kritik?”, aku menatap mata Juan yang sekelam malam.
  Juan mengangguk, mengiyakan. “Setidaknya yang mereka dengar bukan sebuah kebohongan.”
     “Kau mau aku bicara jujur?”, tanyaku.
   Juan kembali mengangguk. Membiarkan helaian poni cokelatnya yang panjang menutup sedikit pandangan matanya.
     “Kau jelek malam ini,” kataku datar.
     “Apa?!?”
     “Kau berteriak padaku!”, seruku.
   “Eh…, oh…, maaf,” Juan terlihat salah tingkah. Matanya melirik ke segala arah dengan gelisah. Bibirnya bergetar. “Err…, kenapa kau bisa berkata begitu?”, matanya menatap ragu padaku.
    “Kau memakai syal bulu dan head phone bulu abu-abu. Kau kira sekarang musim dingin? Ini festival musim panas, Juan!”, ucapku.
     Kami berdua terdiam. Saling berhadapan dan menatap. Kulirik bibirnya yang membuka, hendak berucap 
     “Emm…,” Juan menahan kalimat yang akan keluar dari bibirnya. “Aku rasa kau memang lebih baik berbohong. 
Bisa kurasakan kelopak mataku melebar, terkejut. Kurasakan sebuah tangan besar dan hangat mengitari pergelangan tanganku, menarikku untuk kembali berjalan.
    “Hahahahahahaha……!!!” 
    Kurasa semua orang bisa mendengar suara tawaku, termasuk Juan. Kulirik dari balik bahunya, sebuah senyum terukir di bibir tipisnya.

Martapura, November 2010

0 komentar:

Posting Komentar

 

Aina's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea