Kamis, 20 Januari 2011

Noda Gaun Putih

Diposting oleh ainahafizah di 18.11
Bangunan bertingkat yang kokoh itu membentuk lingkaran dengan sebuah gerbang besar sebagai satu-satunya akses untuk keluar masuk. Beranda sepanjang bangunan itu terisi oleh kursi-kursi dan meja yang dilapisi satin berwarna salem dan satin merah tua yang dirangkai membentuk pita dan bunga di tiap kursi dan meja. Di tengah bangunan tersebut terdapat sebuah podium dari kayu berbentuk lingkaran dengan sebuah pancang kayu berbentuk salib menancap di tengahnya. Perlahan, lapangan kosong  di tengah bangunan yang tanpa atap itu dipenuhi orang-orang.
Sesosok wanita berambut merah berjalan pelan di salah satu sudut beranda. Ketukan sepatu hak tingginya membuyarkan lamunan seorang remaja laki-laki yang duduk di salah satu tepi beranda. Sang remaja tersenyum pada sang wanita. Dia lalu berdiri dan menarik sebuah kursi di sampingnya kirinya untuk sang wanita. Dia kembali duduk di kursinya tanpa bicara sepatah kata pun pada sang wanita setelah wanita itu duduk di sampingnya. Wanita yang memakai sebuah gaun putih dengan manik-manik yang berkilau.

Noda Gaun Putih

Wanita berambut merah itu menutup matanya. Menyembunyikan iris hijau keabuannya di balik kulit wajahnya yang putih. Matanya kembali membuka saat mendengar suara remaja laki-laki di sampingnya.
“Yang Mulia Raja telah datang.”
Sang wanita menolehkan kepalanya mengikuti arah tatapan sang remaja laki-laki. Kedua pasang mata berbeda warna itu tertuju pada sosok yang sama. Sosok seorang pria paruh baya dengan warna rambutnya yang memutih dan tubuhnya yang agak gemuk. Pria yang disebut-sebut sebagai orang paling bijaksana di negeri itu. Sang Raja mengistirahatkan tubuhnya di sebuah singgasana besar yang kokoh dan megah. Singgasana yang menjadi pusat perhatian semua orang.
“Aku tidak suka ini.” ucap sang remaja, mengalihkan perhatiannya ke kerumunan orang yang memenuhi lapangan. Dia bisa dengan leluasa memandangi kerumunan orang dari beranda di lantai dua tersebut.
“Nathan,” gumam sang wanita, tangan kanannya menggenggam tangan remaja laki-laki yang tengah mengepal keras itu.
“Kak Maja,” ucap Nathan. Ia balik menggenggam tangan sang wanita. “Aku benar-benar tidak menyukai ini.”
Wanita yang dipanggil Maja itu hanya bisa menggenggam lebih erat tangan remaja lelaki kesayangannya itu. Ya, remaja lelaki kesayangannya, mereka. Tangannya bergetar, mengingat siapa remaja lelaki di hadapannya ini. Rambut remaja itu berwarna cokelat madu selaras dengan warna matanya yang mengisyaratkan musim gugur. Berbeda dengan sang wanita yang memiliki rambut berwarna merah dan iris mata yang berwarna hijau keabuan.  Wajah mereka pun tak memiliki kemiripan sedikit pun mengingat mereka tak memiliki hubungan darah. Satu-satunya kemiripan di antara mereka hanyalah kulit yang putih bersih.
“Hentikan semua ini!”  seru Nathan. Mata cokelatnya masih memandangi kerumuanan orang-orang yang berjejalan di bawah sana.
Maja menghela napas. “Kau tahu, ini adalah peraturan.”
Sepasang mata berwarna cokelat itu manatap tajam ke arah sepasang mata hijau keabuan di hadapannya. “Kalau begitu, hapus peraturan itu!”
Mata hijau keabuan itu melebar. Tak menyangka bahwa remaja kesayangannya yang selalu bersikap baik dan terkadang manja itu bisa bersikap begitu egois. Senadainya bisa, Maja pun ingin bertindak egois seperti remaja di hadapannya itu. Bahkan jauh lebih egois.
Perdebatan kecil itu terhenti saat gemuruh orang-orang membahana. Sebuah kurungan kayu menerobos masuk secara perlahan ke tengah lapangan, tepat menuju podium. Seorang pemuda terduduk di dalam kurungan itu dengan kedua tangan yang terikat dan mata yang ditutup sehelai kain hitam. Tubuhnya yang bertelanjang dada penuh dengan luka dan lebam. Celana hitam lusuh yang menutupi kaki jenjangnya kotor akibat tanah, keringat, dan darah. Pemuda kurus itu didorong paksa menaiki podium dengan mata yang masih tertutup. Ia mengerang kecil saat kepalanya membentur pancang kayu di tengah podium. Luka yang hampir tertutup di dahinya kembali membuka, membasahi rambut kusamnya dengan darah.
Nathan menggeram. Jemarinya meremas pagar besi di tepi beranda. Napasnya memburu dan tatapan matanya penuh dengan kebencian. Tidak, ia sama sekali tidak membenci pemuda yang akan segera dieksekusi itu. Tapi ia sangat membenci keadaan pemuda yang mirip dengannya itu. Pemuda yang lebih tua sepuluh tahun darinya. Pemuda yang merupakan kakak kandungnya.
Maja menyadari perubahan sikap adik iparnya. Ya, adik ipar. Pemuda yang menanti hukuman matinya itu adalah suaminya.
Maja menggigit sudut bibirnya, membuat bibir tipis merah mudanya berubah menjadi merah dan bengkak. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap duduk. Tubuhnya bergetar. Ia kembali menyembunyikan iris mata indahnya. Menyimpan semua sumpah serapah dan caci makinya dalam hati. Mengutuk semua peraturan yang membuat suami tercintanya berada di panggung penuh kenistaan itu.
Ia kembali memperlihatkan iris hijau keabuannya saat sebuah suara berat membacakan cara kematian yang akan dijalani oleh sang tersangka. Matanya menatap tajam ke arah pria paruh baya yang tengah menebarkan senyum penuh wibawanya ke khalayak ramai.
“Kakek tua itu tak pantas jadi Raja,” ucap Nathan penuh kebencian. Remaja berusia 14 tahun itu tak mampu mengontrol perubahan emosinya.
“Jaga bicaramu, Nathan,” lirih Maja. Mata hijaunya masih enggan beranjak dari sosok pria tua yang kini sedang meminum anggur dari gelas kecilnya.
“Huh! Tapi itu kenyataan, Kak Maja,” dengus remaja berambut cokelat itu. Maja tak menjawab. Wanita yang seharusnya merupakan calon ibu itu masih sibuk dengan pikirannya.
Maja mengalihkan perhatiannya ke tengah podium saat mendengar gemuruh orang-orang kembali menggema. Matanya melebar saat seorang eksekutor bertubuh besar menaiki podium. Sang eksekutor memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang besar seraya mengangkat pemukul besi di tangan kanannya, membuat orang-orang kembali bergemuruh.
Matanya menatap nanar saat pemukul besi diayunkan oleh sang eksekutor. Menimbulkan bunyi benturan saat pemukul besi itu bertumbukan dengan tulang sang pemuda. Ya, pemuda itu tidak akan dibiarkan mati dengan cepat, melainkan dengan perlahan-lahan. Jeritan-jeritan memilukan keluar dari bibir tipis pucat sang pemuda. Sebagian dari orang-orang yang menonton menutup mulut mereka dan memandang nanar pada tubuh yang perlahan bermandikan darah itu.
Maja meremas gaun putihnya erat. Membuat beberapa butiran manik-manik terlepas dari jahitannya. Jeritan kembali terdengar nyaring. Sang eksekutor menghancurkan tulang tempurung kaki sang pemuda dengan pemukul besinya. Tubuh sang pemuda beringsut. Tangannya yang terikat di pancang kayu membuatnya tetap berdiri walau kakinya telah hancur.
Jeritan beradu dengan suara tumbukan antara tulang dan besi. Tangan kanan sang pemuda dibanjiri darah. Tangan itu hancur remuk. Maja berusaha sekuat tenaga untuk tetap duduk. Wanita berambut merah itu berusaha menyarungkan kembali pisau yang telah ia lumuri racun di balik gaun putihnya. Ia tersenyum miris. Gaun putih yang ia kenakan adalah gaun pemberian suaminya. Gaun yang akan membuat suaminya senang apabila ia memakainya. Tapi, suaminya tak bisa melihatnya sekarang. Mata cokelat yang menawan itu disekap oleh sehelai kain hitam.
Maja menutup matanya erat. Jeritan yang terdengar tak sekeras sebelumnya. Tapi, itu sangat menyakitkan bagi wanita cantik itu. Suaminya sudah kelelahan. Kedua tangan sang pemuda hancur sudah. Tak akan lagi ada tangan yang merengkuhnya ke dalam sebuah pelukan hangat. Tak ada lagi jemari yang mempermainkan helaian rambut panjangnya. Tak ada lagi genggaman hangat yang akan ia peroleh.
Kelopak putih itu kembali memperlihatkan iris berwarna hijau keabuan. Sorot mata sang pemilik beralih ke arah kursi-kursi megah yang diduduki para bangsawan. Para bangsawan itu bersulang menikmati pertunjukan di hadapan mereka. Sedangakan Sang Raja menyeringai, menampakkan garis-garis wajahnya. Tangan putih pemilik mata menggenggam erat sarung pisau di balik gaunnya. Pola sarung pisau yang dipenuhi ukiran itu tercetak jelas di telapak tangannya.
“Tak akan kumaafkan.”, lirih Nathan. Mata cokelatnya penuh kebencian. Ia terus menerus menatap tubuh kakaknya yang hancur dan berlumuran darah.
Maja tak bisa terus menahan dirinya untuk tetap duduk menyaksikan eksekusi pemuda yang dicintainya. Ia bangkit dari kursinya, kemudian berjalan menuruni tangga. Tidak, ia tidak ingin pulang. Walaupun tubuh suaminya telah hancur, tapi pemuda itu belum mati. Organ dalam tubuh sang pemuda tidak hancur, karena sang eksekutor hanya menghancurkan kedua kaki dan tangannya.
Jeritan kembali menggema. Tulang panggul sang pemuda yang menjadi korban. Sebagian orang menatap iba pada sang pemuda. Membuat semua orang membatin, kejahatan besar macam apa yang telah diperbuat sang pemuda sehingga ia harus tewas dengan begitu menyedihkan.
Suara ketukan sepatu menarik perhatian semua orang. Sepatu berhiaskan permata yang membalut kaki putih jenjang itu membawa pemiliknya terus menuju ke podium. Gaun putihnya berayun mengikuti langkah kakinya yang anggun. Wajahnya menatap tegak. Bibir tipisnya tak melengkung sedikit pun. Rambut merahnya dipermainkan angin, namun sang pemilik tak menghiraukannya. Matanya menatap fokus pada sang pemuda di tengah podium yang bermandikan darah itu.
Seandainya ia menikahi sang pemuda karena harta, ia tak perlu melakukan itu karena ia sendiri adalah putri seorang bangsawan yang tak kekurangan apapun. Seandainya ia menikahi sang pemuda karena kagum akan ketampanannya, ia pasti sudah meninggalkan sang pemuda yang babak belur itu. Seandainya ia menikahi sang pemuda karena kecerdasannya, ia pasti sudah pergi jauh dari pemuda bodoh yang berani menantang kerajaan itu. Tapi tidak. Perasaannya tulus pada pemuda itu. Bukan, bukan rasa kasihan yang ada di hati wanita itu. Melainkan rasa cinta yang menggila.
Maja mengangkat gaun putihnya agar ia bisa menaiki tangga ke atas podium dengan mudah. Semua orang terhipnotis, membisu. Sang eksekutor perlahan beringsut, turun dari atas podium. Membiarkan sang wanita berambut merah memimpin adegan drama terakhir dari skenario kematian ini.
Tangan putih mulus sang wanita mengelus pipi sang pemuda. Menyingkirkan poni yang menutupi wajah sang pemuda. Jemari putih kurus itu membuka simpul ikatan kain hitam yang menyembunyikan sepasang mata yang dirindukannya. Kelopak pucat itu membuka, memperlihatkan warna musim gugur yang hangat di iris mata sang pemuda. Pertahanan sang wanita runtuh. Tangis yang terus ditahannya akhirnya pecah. Kedua telapak tangannya yang hangat merengkuh kedua sisi pipi sang pemuda. Dahi mereka beradu. Air mata terus mengalir dari sepasang mata hijau keabuan yang enggan beranjak untuk menatap mata cokelat di depannya.
Seandainya suaminya bukan pemuda yang memiliki belas kasih. Seandainya suaminya tidak bertemu dengan anak-anak pelarian itu. Seandainya anak=anak tak tahu diri itu tidak meminta perlindungan dari suaminya. Seandainya peraturan bodoh itu tak ada. Seandainya mata para petinggi kerajaan itu terbuka. Seandainya Raja idiot itu bisa berpikir. Semua tak akan terjadi. Ia dan suaminya akan hidup bahagia dengan tawa anak-anak yang memenuhi rumah mereka.
Namun sayang, Raja itu terlalu idiot untuk menggunakan otaknya. Para petinggi kerajaan itu terlalu silau akan harta. Peraturan sampah itu terlalu diagungkan. Anak-anak malang itu terlalu lemah untuk bertahan sendirian. Dan suaminya terlalu beruntung memiliki hati selembut awan. Suaminya hanya menolong anak-anak pelarian korban perang itu dan peraturan yang dibuat orang-orang idiot itu menyalahkan tindakan suaminya. Menganggap suaminya melanggar hukum. Menjebloskan suaminya ke dalam suramnya penjara. Mengasingkan suaminya dari dunia. Menyiksa suaminya layaknya binatang.
Maja mampu merasakan napas Luke yang berat di wajahnya. Suaminya tak akan bisa bertahan lebih lama. Tangan kurus Maja meraih simpul ikatan yang menahan tangan Luke, sementara tangan yang lain memeluk bahu sang pemuda. Saat kedua ikatan tangan Luke terlepas, tubuh Maja perlahan beringsut, terduduk, dengan Luke di pelukannya. Kepala Luke bersandar dibahu istrinya, dengan wajah yang mengarah ke leher sang istri. Sementara Maja terus menangis sesengukan sambil mempererat pelukannya.
“Maja…”
Maja berhenti menangis saat Luke memggumamkan namanya. Matanya melebar. Kata terakhir yang mengiringi hembusan napas terakhir sang pemuda. Namun, ia sama sekali tak melepas pelukannya. Membiarkan darah sang pemuda membasahi gaun putihnya. Menuliskan sejarah untuk gaun putih pemberian terakhir suaminya.
“Nona Maja…”, panggil salah seorang bangsawan yang sedari awal memperhatikan wanita cantik itu. Namun, Maja tidak menyahutnya. Dunianya seolah berhenti.
Sang bangsawan menghela napas.
“Nyonya Jacqueschell…”, ulang sang bangsawan.
Wanita yang baru saja menjadi janda itu kembali dari lamunannya. Mata hijau keabuannya menatap kosong. Bibir pucatnya bergetar. “Bagi kalian, kebaikan suamiku adalah dosa-dosa.”

Martapura, Oktober 2010

0 komentar:

Posting Komentar

 

Aina's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea