Senin, 26 Desember 2011

Pashmina Merah [cerpen]

Diposting oleh ainahafizah di 18.30
“Ya, sampai jumpa. Wa’alaikumsalam”, ucapku seraya menutup panggilan telepon. Aku menatap layar ponselku yang menampilkan potret wajahku sebagai wallpapernya. Aku tersenyum, membiarkan layar ponsel.mulai menghitam, memantulkan senyumku.
“Baiklah, saatnya bersiap-siap, sebelum Nona Cerewet itu mendesakku lagi”, aku terkikik geli ketika menyebutkan pet name yang kuberikan pada salah satu teman baikku itu. Rasanya agak asing di lidahku.
Aku membiarkan ponsel hitamku tergeletak di atas ranjang ketika aku berjalan menuju lemari pakaianku. Aku membuka salah satu pintu lemari yang di dalamnya terdapat jilbab-jilbab koleksiku. Seharusnya aku mendapati koleksi jilbabku yang berwarna-warni seperti pelangi. Kata kuncinya adalah ‘seharusnya’. Jadi yang kulihat sekarang hanyalah sebuah pashmina merah. Sebuah pashmina tua. Jilbab pertamaku.

Pashmina Merah

Aku mendengus, merutuk kemalasanku. Aku membiarkan jilbab dan pakaianku bertumpuk di keranjang pakaian kotor, mendiamkan mereka tergeletak tak berdosa di samping mesin cuci. Akhir-akhir ini sering hujan dan sialnya aku seringkali kehujanan saat bepergian. Alhasil, pakaian kotorku menumpuk. Parahnya lagi, aku terlalu malas untuk mencucinya.
Aku meraih pashmina merah, jilbab satu-satunya yang tersisa dalam lemariku, dengan tangan kananku. Aku menepuk-nepuk pelan pashmina yang sudah tua itu, membersihkannya dari debu yang menempel. Entah sudah berapa lama aku tidak memakainya. Aku tersenyum kecil ketika mengingat sudah berapa lama pashmina ini bersamaku. Kurang lebih lima tahun. Kuhitung sejak aku masih duduk di kelas 2 SMP.

Aku melilitkan pashmina merah itu di kepalaku, mencoba mengingat bagaimana cara memakainya. Pashmina ini agak tipis, jadi harus kulilitkan sebanyak dua kali agar tidak tembus pandang. Aku mendengus mengingat mengapa dulu aku memilih pashmina tipis ini. Alasan seorang remaja putri yang menganggap pashmina cocok dipakai mereka yang tidak ingin berjilbab secara sungguh-sungguh. Karena pashmina gampang dipakai dan gampang dilepas. Alasan bodoh memang.
Aku merengut memandang pantulan diriku di cermin besar yang ada di hadapanku. Pashmina merah ini terlihat kecil ketika kupakai. Aku mendengus, membuka lilitan pashmina di kepalaku. Tangan kananku meraba sisi wajahku hingga turun ke lekuk leher, merapikan helaian rambut yang jatuh menutupi leherku. Aku terdiam ketika tanganku meraba sebuah tonjolan yang ada di salah satu sisi leherku. Sebuah bekas luka. Luka sayatan.
Pashmina merah itu jatuh perlahan ke pundakku, menampilkan rambut hitamku. Tangan kananku masih setia menutup bekas luka si leherku. Perlahan, kutarik tanganku, membiarkan bekas luka itu memperlihatkan diri. Mata hitamku menatap cermin yang memantulkan bayangan bekas luka di leherku itu. Bekas luka sayatan itu tidak hanya satu, tapi banyak.
Aku tersenyum miris seraya menggelengkan kepalaku. Tidak. Aku tak mau menghitung berapa banyak jumlah bekas sayatan di leherku. Aku menatap bayanganku di cermin. Tidak, aku tidak mau lagi melihat bayangan diriku yang menatap kosong. Aku tidak mau memutar kembali ingatanku. Ingatan ketika aku ditampar oleh kenyataan hidup.
Aku meraih pashmina yang menggantung di pundakku, menariknya perlahan. Sepertinya aku harus menggunakan ciput sebagai dalaman agar pashmina tipis ini tidak tembus pandang saat kugunakan. Aku tertawa pelan setelah menggunakan ciput ninja berwarna merah muda yang menutup hampir seluruh bagian kepalaku, kecuali wajah. Kurasa aku bisa menggunakan pashmina ini lebih longgar tanpa perlu melilitkannya berkali-kali.
Aku melihat pantulan diriku di cermin dengan pashmina merah pertamaku. Aku tersenyum miris. Alasanku memakainya pertama kali hanyalah untuk menutupi bekas luka sayatan di leherku. Luka yang bicara tentang kehancuranku. Berkali-kali aku hancur. Berkali-kali aku berakhir dengan pisau dan leher yang berlumuran darah. Berkali-kali pula aku berakhir di ruangan yang serba putih. Punya keluarga yang hancur kadang tidak menyenangkan.
Ponsel hitamku bordering, membuyarkan lamunanku. Aku meraihnya dengan tangan kiriku, kemudian meletakkan ponsel itu di telinga kiriku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Ada apa, Ro?”, tanyaku seraya mengernyitkan dahi. Bisa kudengar Ro sedang menggeram pelan di ujung telepon sana.
“Kau pikir sudah jam berapa? Kau terlambat datang, tahu!”, teriaknya.
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku begitu mendengar teriakan Ro. Kuperhatikan angka di sudut kanan atas ponselku. Ro benar, aku terlambat.
“Ya, ya, aku tahu”, ucapku.
“Kalau kau tahu, cepat bawa dirimu ke sini!”
“Iya, iya, sabar ya Nona Cerewet”, ucapku terkikik geli.
Kudengar Ro menggeram. “Kau itu ya, tidak…”
“Wa’alaikum salam”, ucapku seraya memutus panggilan. Bisa kubayangkan Ro yang sedang mengamuk karena telponnya kututup seenak jidat.
Aku berdiri di depan cermin sekali lagi, memandang pantulan diriku dalam balutan busana longgar berwarna muda dan lilitan pashmina merah di kepalaku. Aku memang tidak seperti mereka. Mereka yang punya kenangan manis pada jilbab pertama. Tapi, inilah aku. Aku menyentuh  sisi kanan leherku yang telah berlapis pashmina merah. Aku memejamkan mataku dan berharap bekas luka sayatan itu menghilang.
Aku membuka mataku, memperlihatkan sepasang bola mata berwarna hitam kelam. Aku tersenyum. Satu hal yang pasti, aku percaya jika Tuhan itu maha penyayang. Ia menuliskan skenario yang berbeda untukku. Ia memberikanku jalan yang berbeda untuk bahagia.


Catatan : Ini adalah cerpen yang kutulis minggu lalu untuk mengikuti sebuah lomba yang diadakan oleh  salah satu organisasi kemuslimahan. Sayangnya, cerpen ini hanya meraih peringkat ke-3. Yah, lumayanlah. Hehehe... ^_^

0 komentar:

Posting Komentar

 

Aina's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea